3.1 Manajemen Modal Kerja
3.1.1 Pengertian Manajemen Modal Kerja
Menurut
Horne dan Wachowicz (1997, p. 214) manajemen modal
kerja adalah administrasi aktiva lancar perusahaan dan pendanaan yang
dibutuhkan untuk mendukung aktiva lancar. Sehingga, manajemen modal kerja
berarti mengelola aktiva lancar yang diperlukan perusahaan untuk menjalankan
kegiatan operasinya, serta pengelolaan terhadap dana yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan aktiva lancar tersebut.
Dari
proses di atas, maka pengelolaan terhadap komponen dalam modal kerja secara
otomatis menjadi bagian dari pengelolaan terhadap modal kerja tersebut. Sebab,
tidak dapat dipungkiri bahwa modal kerja terdiri dari beberapa komponen yang
terdapat di dalamnya. Pengaturan terhadap komponen modal kerja (kas, piutang,
persediaan) perlu diperhatikan baik dari segi jangka waktu perputarannya maupun
dari segi seberapa banyak porsi yang terkandung dalam komponen modal kerja
tersebut (Husnan, 1998).
Dengan
demikian, manajemen modal kerja berarti merupakan proses mengelola tiap
komponen yang terdapat dalam modal kerja guna memberikan dampak positif
terhadap perusahaan. Pengelolaan jangka waktu perputaran modal kerja menjadi
penting dalam upaya agar modal kerja tidak terlalu lama berputar dalam suatu
periode sehingga dapat makin efisien. Penentuan porsi dari komponen modal kerja
juga akan menentukan porsi dari aktiva lancar perusahaan. Keputusan untuk
menentukan besarnya modal kerja yang akan menentukan berapa jumlah aktiva
lancar yang akan dimiliki perusahaan.
3.1.2 Fungsi Manajemen Modal Kerja
Dilihat
dari definisi dari manajemen modal kerja, dapat dilihat seberapa besar peran
darinya terhadap perusahaan. Weston dan Bringham dalam Ahmad (1997, pp.
1-2),
pengelolaan modal kerja menjadi penting karena menyangkut beberapa aspek:
1) Beberapa
penelitian telah memberikan indikasi bahwa sebagian besar waktu manajer
keuangan dihabiskan dalam kegiatan internal perusahaan dari hari ke hari, dan
ini merupakan bagian dari manajemen modal kerja.
2) Kenyataannya
jumlah aktiva lancar sering lebih dari separuh total aktiva perusahaan dan
cenderung labil.
3) Hubungan
antara tingkat pertumbuhan penjualan dan kebutuhan akan permodalan aktiva
lancar adalah dekat dan langsung.
4) Khususnya
bagi perusahaan kecil, manajemen modal kerja terlebih-lebih pentingnya, dengan
alasan:
a. Investasi
dalam aktiva tetap dapat dikurangi dengan menyewa atau leasing, tetapi aktiva
lancar apalagi piutang maupun inventory (persediaan) tidak dapat dihindari.
b. Relatif
terbatasnya perusahaan kecil untuk memasuki pasar modal jangka panjang,
sehingga harus mengandalkan utang dagang dan utang bank jangka pendek sebagai
permodalannya, meningkatnya utang lancar akan mengurangi modal kerja bersihnya.
Sedangkan Ahmad (1997, p. 6)
menyatakan peran dari manajemen modal kerja karena dua fungsi dari modal kerja
tersebut, yaitu:
1) Menopang
kegiatan produksi dan penjualan atau sebagai jembatan saat pengeluaran
pembelian persediaan dengan penjualan dan penerimaan kembali hasil pembayaran.
2) Menutup
dana atau pengeluaran tetap dan dana yang tidak berhubungan secara langsung
dengan produksi dan penjualan.
Sedangkan Horne dan Wachowicz (1997, p. 215), menyatakan bahwa
manajemen modal kerja juga mendasari dua keputusan penting peusahaan. Manajemen
modal kerja ini merupakan penentu dari:
1) Tingkat
optimal dari investasi pada aktiva lancar
Mengurangi tingkat
investasi aktiva lancar, namun masih mampu mendukung penjualan, akan
meningkatkan pengembalian perusahaan pada total aktiva. Untuk kondisi ini, jika
biaya dari pembiayaan jangka pendek lebih sedikit dari pada untuk jangka
menengah dan jangka panjang, maka akan semakin besar proporsi hutang jangka
pendek terhadap total hutang dan semakin tinggi tingkat kemampuan memperoleh
laba perusahaan.
2) Perpaduan
yang sesuai antara pembiayaan jangka panjang yang digunakan untuk mendukung
investasi pada aktiva lancar.
Husnan (1998, hal.
550)
menyatakan bahwa semakin besar kemampuan modal kerja menghasilkan keuntungan
operasi, maka semakin efisien pengelolaan modal kerja tersebut.Dengan demikian,
modal kerja dapat berpengaruh pada keuntungan operasiperusahaan. Bukti dari
efisiennya manajemen modal kerja juga dapat dilihat dari kemampuan modal kerja
dalam menghasilkan keuntungan operasi. Saat kemampuan modal kerja dalam
menghasilkan keuntungan operasi makin tinggi, maka menunjukkan makin efisiennya
manajemen modal kerja dari perusahaan.
Brealy, Myers, & Marcus (2007, hal. 244) menyebutkan bahwa
ketika perusahaan meningkatkan persediaan bahan mentah atau produk jadi, kas
perusahaan akan berkurang; pengurangan kas akan mencerminkan investasi
perusahaan dalam persediaan. Dengan begitu, persediaan yang naik akan
menyebabkan penurunan kas, kas juga akan berkurang ketika piutang terlambat
dibayarkan oleh pelanggan, atau ketika piutang naik maka investasi kas dalam
piutang akan naik pula.
Dari berbagai hal yang telah
disampaikan, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai modal kerja, pengaruhnya
terhadap perusahaan. Berikut beberapa hal yang dapat disimpulkan tersebut:
1) Modal
kerja dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasi perusahaan. Sehingga
perubahan terhadap masing-masing komponennya dapat menyebabkan perubahan
tertentu pada pos keuangan lainnya.
2) Ketika
jumlah modal kerja terlalu besar, maka menjadi tidak efisien, sebab dana yang
tertanam dalam modal kerja akan melebihi kebutuhan dan secara otomatis tidak akan
menghasilkan laba (khusunya pada dana yang tertanam dalam bentuk kas dan
persediaan, untuk piutang memang dapat menghasilakan laba, namun jika terlalu
besar juga tidak baik, sebab risiko pasar yang tidak menentu). Ketika modal
kerja terlalu sedikit tentu saja akan dapat menyebabkan terganggunya kegiatan
operasi perusahaan, serta terpengaruhnya likuiditas dan profitabilitas
perusahaan.
3) Manajemen
modal kerja memang berkutat pada pendanaan jangka pendek, namun tidak dapat
dilepaskan begitu saja terhadap pendanaan jangka panjang, sebab laba yang
diperoleh darinya dapat digunakan juga untuk kepentingan jangka panjang, salah
satunya adalah dengan investasi jangka panjang. Dengan begitu, modal kerja yang
berlebihan akan dapat memunculkan risiko kesempatan, kesempatan untuk dapat
menggunakan kelebihan dana tersebut untuk investasi lain akan hilang sebab dana
telah digunakan pada pos modal kerja. Risiko ini dapat muncul juga ketika
perushaan harus kehilangan kesempatan untuk menggunakan dana tersebut untuk
membayar kewajibannya, misalnya dana berlebih yang telah terlanjur tertanam
pada pos piutang ataupun persediaan maka perusahaan akan sulit untuk segera
mencairkannya menjadi kas untuk membayar kewajibannya, sebab tidak selikuid
kas.
3.1.3 Klasifikasi Modal Kerja
Pada
dasarnya modal kerja bersifat fleksibel, yaitu dapat dengan mudah diperbesar maupun diperkecil sesuai
dengan kebutuhan perusahaan, sedangkan bagian sulitnya adalah menentukan jumlah
dari perubahan tersebut. Selain itu, masing-masing perusahaan dapat memiliki
tipe modal kerja yang berbeda sesuai dengan bidang usaha dan kebutuhan dari
masing-masing perusahaan. Modal kerja
dalam suatu perusahaan dapat digolongkan berdasarkan kebutuhan akan modal kerja
itu sendiri (Riyanto,
1999, hal. 58),
berikut merupakan dua penggolongannya:
1) Modal Kerja Permanen (Permanent
Working Capital)
Yaitu modal
kerja yang harus selalu ada pada perusahaan agar dapat berfungsi dengan baik
dalam satu periode akuntansi. Modal kerja permanen terbagi menjadi dua :
a.
Modal kerja primer (primary working capital) adalah sejumlah modal kerja minimum yang
harus ada pada perusahaan untuk menjamin kelangsungan kegiatan usahanya.
b.
Modal kerja normal (normal working capital) yaitu sejumlah modal kerja yang
dipergunakan untuk dapat menyelenggarakan kegiatan produksi pada kapasitas
normal. Kapasitas normal mempunyai pengertian yang fleksibel menurut kondisi
perusahaannya.
2) Modal Kerja Variabel (Varieble
Working Capital)
Yaitu modal
kerja yang dibutuhkan saat-saat tertentu dengan jumlah yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan keadaan dalam satu periode. Modal kerja variabel dapat
dibedakan menjadi tiga macam :
a.
Modal kerja musiman (seasonal working capital) yaitu sejumlah modal kerja yang besarnya
berubah-ubah disebabkan oleh perubahan musim.
b.
Modal kerja siklis (cyclis working capital) yaitu sejumlah modal kerja yang besarnya
berubah-ubah disebabkan oleh perubahan permintaan produk.
c.
Modal kerja darurat (emergency working capital) yaitu modal kerja yang besarnya
berubah-ubah yang penyebabnya tidak diketahui sebelumnya (misalnya kebakaran,
banjir, gempa bumi, buruh mogok dan sebagainya).
3.1.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Modal Kerja
1.
Volume Penjualan
Perusahaan
membutuhkan modal kerja untuk mendukung kegiatan operasional pada saat terjadi
peningkatan penjualan
2.
Faktor Musim dan Siklus
Fluktuasi
dalam penjualan yang disebabkan oleh factor musim dan siklus akan mempengaruhi
kebutuhan akan modal kerja.
3.
Perubahan dalam tekhnologi
Jika
terjadi pengembangan tekhnologi maka akan berhubungan dengan proses produksi
dan akan membawa dampak terhadap kebutuhan akan modal kerja
4.
Kebijakan perusahaan
Kebijakan yang
diterapkan oleh perusahaan juga akan membawa dampak terhadap kebutuhan modal
kerja.
3.1.5 Penentuan Besarnya Kebutuhan Modal Kerja
Besar
kecilnya modal kerja tergantung dari dua faktor :
1) Periode
perputaran atau periode terikatnya modal kerja
Merupakan keseluruhan
atau jumlah dari periode yang meliputi jangka waktu pemberian kredit beli, lama
penyimpanan bahan mentah di gudang, lamamya proses produksi, lamanya barang di
simpan digudang, jangka waktu penerimaan piutang.
2) Pengeluaran
kas rata-rata setiap hari
Merupakan jumlah
pengeluaran kas rata-rata setiap hari untuk keperluan bahan mentah, bahan
pembantu, pembayaran upah buruh, dan lain-lain. Modal kerja makin besar jika:
a. Jumlah
pengeluaran kas setiap hari tetap, periode perputaran lama
b. Periode
perputaran tetap, jumlah pengeluaran kas besar.
3.1.6 Kas
3.1.6.1 Pengelolaan Kas
Manajemen
kas mencakup pengumpulan yang efisien serta digunakan untuk kepentingan
pembayaran dan ivestasi yang dilakukan oleh kas, sehingga salah satu upaya
untuk mencapai efisiensi pada kas adalah dengan mempercepat penerimaan kas dan
memperlambat pengeluaran kas (Horne, 1997, p. 232). Dengan demikian,
semakin cepat penerimaan kas maka semakin efisien pengelolaan kas pada suatu
perusahaan, begitu pula sebaliknya ketika kas semakin lambat dalam proses
perputarannya, sehingga pengelolaan kas menjadi semakin tidak efektif. Upaya
untuk meningkatkan efisiensi kas dengan mempercepat penerimaan kas dapat dilakukan
dengan memperpendek jangka waktu piutang, atau memperlambat pembayaran
kewajiban.
Seakan
senada dengan pernyataan di atas, Husnan (1998, hal.
459)
juga menyebutkan bahwa ide dasar dari
manajemen kas adalah mempercepat pengumpulan (dan memanfaatkan) kas dan
memperlambat pengeluaran kas. Dengan demikian, kegiatan utama dari manajemen
kas adalah untuk dapat mengelola kas dengan efisien, sehingga tercipta kondisi
dimana kas dapat dikumpulkan dengan cepat dan sedapat mungkin memperlambat
pengeluaran kas hingga pada saat tertentu harus dikeluarkan dengan berbagai
pertimbangan.
Menurut
Atmadja (2001, hal.
385),
karena kas tidak memberikan penghasilan atau bunga, maka tujuan manajemen kas
adalah meminimumkan jumlah kas yang harus ada pada perusahaan agar aktivitas
perusahaan dapat berjalan normal, namun pada saat yang sama, perusahaan
memiliki kas yang cukup untuk mengambil diskon pembelian, melunasi hutang yang
jatuh tempo, dan memenuhi kebutuhan kas yang tidak terduga. Dengan meminimalkan
jumlah dana yang terdapat dalam kas diharapkan perusahaan dapat memanfaatkan
keluaran dana untuk dapat menghasilkan profit, namun pada saat yang
samapemenuhan kebutuhan perusahaan akan likuiditas juga tidak terganggu.
Dengan
demikian, manejemen kas menjadi penting karena kas merupakan aktiva perusahaan
yang sangat besar perannya terhadap pemenuhan kebutuhan perusahaan, sehingga
pemenuhan terhadap kas juga perlu dipenuhi perusahaan, perusahaan harus
memiliki kas pada titik tertentu agar masih dapat menjamin terlaksananya
kegiatan operasi perusahaan dan sehingga dapat menghasilkan profit, selain
terhadap pendanaan, kas juga berpengaruh terhadap keputusan investasi
perusahaan.
3.1.6.2 Fungsi Kas
Kas
merupakan aspek penting yang berperan besar dalam kegiatan operasi perusahaan.
Dari fungsi kas yang sangat penting tersebut menurut Keynes dalam Husnan (1998, hal. 452) menyatakan bahwa ada
tiga motif untuk memiliki kas, yaitu:
1) Motif
Transaksi
Motif transaksi berarti
perusahaan menyediakan kas untuk membayar
berbagai transaksi bisnisnya. Baik transaksi yang reguler (seperti
membayar gaji dan berbagai biaya
administrasi) maupun yang tidak reguler (seperti melunasi hutang, membayar
pembelian aktiva tetap).
2) Motif
Berjaga-jaga
Motif berjaga-jaga
dimaksudkan untuk mepertahankan saldo kas guna memenuhi permintaan kas yang
sifatnya tidak terduga. Seandainya semua
pengeluaran dan pemasukan kas bisa diprediksi secara akurat, maka saldo
kas untuk maksud jaga-jaga akan sangat
rendah. Selain akurasi prediksi kas, apabila perusahaan mempunyai akses kuat ke
sumber dana eksternal, saldo kas juga akan rendah. Motif berjaga-jaga ini
nampaknya dalam kebijakan penentuan saldo kas minimal dalam penyusutan anggaran
kas.
3) Motif
Spekulasi
Motif spekulasi dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan dari memiliki atau menginvestasikan kas dalam bentuk
investasi yang sangat likuid. Biasanya jenis investasi yang dipilih adalah
investasi sekuritas. Apabila tingkat bunga diperkirakan turun, maka perusahaan
akan merubah kas yang dimiliki menjadi saham, dengan harapan harga saham akan
naik apabila memang semua pemodal berpendapat bahwa suku bunga akan (dan
mungkin telah) turun.
Selanjutnya
Martin et.al (1991) dalam Husnan (1998, hal.
453)
menyatakan bahwa motif spekulasi merupakan komponen paling kecil dari
preferensi perusahaan akan likuiditas. Motif-motif transakasi dan berjaga-jaga
merupakan alasan-alasan utama mengapa perusahaan memiliki kas.
Kaitannya
dengan modal kerja, kas dapat menunjukkan seberapa besar investasi perusahaan
dalam modal kerja, sehingga dapat diketahui cukup tidaknya modal kerja dalam
kas untuk mengoperasikan perusahaan sehari-hari. Dengan demikian, perubahan
dalam kas akan mempengaruhi struktur modal kerja perusahaan. Hal ini senada
dengan pernyataan bahwa peningkatan modal kerja adalah investasi sehingga
menyiratkan arus kas negatif; penurunan modal kerja menyiratkan arus kas
positif (Brealy &
Marcus, 2007, hal. 245).
Dengan
demikian, motif transaksi dan motif berjaga-jaga menjadi alasan paling kuat
dari dimilikinya kas oleh perusahaan. Melalui motif transaksi, perusahaan dapat
memperoleh fungsi dari kas untuk membayarkan transaksi perusahaan, sedangkan
dari motif berjaga-jaga, perusahaan dapat memperoleh fungsi dari kas untuk
menjaga likuiditas, dan dari motif spekulasi, perusahaan dapat memperoleh
fungsi dari kas dalam memperoleh keuntungan.
3.1.6.3 Perputaran Kas
Manajemen
kas mencakup pengumpulan yang efisien, pembayaran dan ivestasi sementara kas,
sehingga perusahaan akan diuntungkan jika penerimaan kas dapat dipercepat dan
pembayaran kas dapat diperlambat (Horne, 1997). Dari hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa manajemen kas yang baik adalah manajemen kas yang
efisien. Manajemen kas yang efisien dapat dilihat dari pengumpulannya terhadap
kas, atau jangka waktu dari kas yang dikeluarkan untuk dapat kembali menjadi
kas selama satu periode, atau biasa disebut dengan perputaran kas (cash turnover).
Dengan
mengetahui perputaran kas, perusahaan dapat mengetahui berapa kali dalam satu
periode kas dapat berputar kembali menjadi kas setelah diinvestasikan. Menurut
Husnan (1998, hal.
544),
formula untuk mengetahui perputaran kas dalam satu periode adalah sebagai
berikut:
Tingkat
Perputaran Kas = Penjualan
Rata-rata Kas
Rata-rata
kas ditemukan dengan menjumlah kas tahun pertama dan tahun ke dua kemudian
dibagi dua. Sedangkan jumlah periode rata-rata kas dalam berputar (dalam hari)
adalah sebagai berikut:
Periode
Kas = Banyaknya Hari Dalam Tahun
Perputaran Kas
Semakin
banyak atau semakin cepat perputaran kas dalam satu tahun maka semakin efisien
pengelolaan kas suatu perusahaan. Dalam hal periode kas, semakin sedikit jumlah
hari periode kas dalam satu tahun maka mengindikasikan pengelolaan kas yang
juga semakin efisien.
3.1.7 Piutang
3.1.7.1 Pengelolaan Piutang
Menurut
Horne dan Wachowicz (1997, p. 258), piutang merupakan
jumlah uang yang dipinjam dari perusahaan oleh pelanggan yang telah membeli
barang atau memakai jasa secara kredit. Dengan begitu, semua pembelian barang
ataupun jasa yang dilakukan oleh konsumen dengan jalankredit atau bukan dengan
pembayaran secara tunai akan menimbulkan piutang pada perusahaan. Dengan adanya
piutang maka perusahaan memiliki aktiva yang berada pada konsumen. Aktiva
lancar tersebut akan dibayarkan kepada perusahaan sampai waktu jatuh tempo yang
telah ditentukan. Dari situ perusahaan dapat menerima aliran piutang yang
menjadi kas.
Seakan
sejalan dengan pernyataan di atas, Husnan (1998, hal.
467)
juga menyatakan bahwa piutang tercipta pada saat perusahaan melakukan penjualan
secara kredit. Penjualan kredit terhadap perusahaan lain disebut kredit dagang (trade credit), dan kredit kepada
konsumen disebut sebagai kredit konsumen (consument
credit). Dengan demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa piutang
merupakan hasil dari kegiatan penjualan yang dilakukan oleh perusahaan kepada
konsumen kredit.
Piutang
merupakan salah satu cara untuk menaikan tingkat penjualan, namun tidak serta
merta kemudia npiutang menjadi tidak perlu untuk dikendalikan. Untuk mengendalikan piutang,
perusahaan perlu menetapkan kebijaksanaan kreditnya. Kebijaksanaan ini yang
kemudian berfungsi sebagai standar dari setiap kredit yang akan diberikan
kepada konsumen. Manfaat yang diperoleh karena menjual secara kredit adalah
tambahan laba, sedangkan pengorbanannya adalah tambahan biaya dana.
Horne
dan Wachowicz (1997, p. 258) menyebutkan beberapa
kebijakan kredit dan penagihan yang dapat digunakan dalam mengelola piutang
suatu perusahaan, berikut merupakan kebijakan kredit dan penagihannya.
1) Standar
Pemberian Kredit
Dalam standar kredit,
hal yang perlu diperhatikan adalah kualaitas minimum kepercayaan pada pemohon
kredit untuk dapat disetujui permohonan kreditnya.
2) Persyaratan
Kredit (Periode Kredit /Jangka Waktu Pinjaman)
Yang menjadi fokus
dalam periode kredit adalah mengenai total jangka waktu dimana pelanggan
diberikan perpanjangan kredit untuk membayar tagihan.
3) Risiko
Kelalaian
Pembahasan dalam
kebijakan yang dapat ditempuh dari risiko kelalaian tidak hanya mengenai waktu
pembayaran tagihan yang lambat tapi juga mengenai jumlah piutang yang tidak
tertagih.
4) Prosedur
dan Kebijakan Penagihan
Perusahaan menentukan keseluruhan
kebijakan penagihan dengan menggabungkannya dengan prosedur yang dijalankan.
Prosedur ini meliputi surat-surat, telepon, kunjungan dan tindakan-tindakan
hukum. Salah satu variabel utama dalam kebijakan adalah besarnya jumlah utang
yang digunakan dalam prosedur penagihan. Batasannya adalah semakin besar
penagihan, semakin kecil kemungkinan piutang tidak tertagih dan semakin sedikit
periode penagihan.
Sedikit
berbeda dengan kebijakan kredit di atas, menurut Atmaja (2001, hal.
389),
kebijakan kredit terdiri atas empat variabel, yaitu:
1) Periode
kredit yakni jangka waktu kredit yang diberikan
Menaikkan periode kredit
pada umumnya dapat mendongkrak penjualan, namun ada biaya perubahan bagi
perusahaan, misalnya pembayaran tertunda.
2) Standar
kredit
Standar kredit yakni
merujuk pada kemampuan keuangan minimal yang harus dimiliki calon penerima
kredit serta jumlah kredit yang tersedia bagi masing-masing pelanggan.
3) Kebijakan
pengumpulan
Kebijakan pengumpulan
yakni merujuk pada prosedur-prosedur yang digunakan oleh perusahaan untuk
menagih piutang yang sudah jatuh tempo.
4) Kebijakan
diskon
Kebijakan diskon untuk pembayaran
yang dipercepat, termasuk di dalamnya jumlah dan periode diskon.
Manajemen
piutang yang efektif ikut mempengaruhi tingkat keuntungan dan risiko perusahaan (Atmaja, 2001,
hal. 395).
Dengan demikian, semakin tinggi keuntungan yang diperoleh dari piutang maka
semakin besar pula risikonya.
3.1.7.2 Fungsi Piutang
Pada
dasarnya piutang berfungsi untuk dapat memberikan solusi penjualan alternatif
bagi pelanggan selain secara pembayaran secara kontan, sehingga diharapkan
mampu meningkatkan penjualan produk perusahaan, sebab dengan kredit pangsa
pasar akan menjadi semakin luas, dari yang tadinya tidak mampu atau tidak mau
membeli menjadi mampu dan mau untuk membeli produk secara kredit sehingga
perusahaan dapat diuntungkan dari laba yang diperoleh dari penjualan secara
kredit.
Hal
ini hampir senada dengan pernyataan Husnan (1998, hal.
467)
yang menyebutkan bahwa penjualan secara kredit merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan (atau untuk mencegah penurunan) penjualan. Dengan penjualan yang
makin meningkat, diharapkan laba juga akan meningkat. Sayangnya memiliki
piutang juga menimbulkan berbagai biaya bagi perusahaan. Untuk itu perusahaan
perlu untuk melakukan analisis ekonomi tentang piutang.
3.1.7.3 Perputaran Piutang
Semakin
lama jangka waktu pelunasan kredit, semakin besar dana yang diperlukan untuk
membiayainya, dengan demikian piutang akan semakin tidak efisien (1998, hal. 479). Saat pelunasan
kredit semakin lama, maka ketika itu juga dana yang diharapkan untuk menambah
kas menjadi tertunda sebab pelanggan belum melakukan pembayaran. Ketika hal
tersebut terjadi maka piutang menjadi tidak efisien dalam menambah laba ke
dalam kas perusahaan. Untuk itulah diperlukan analsis lebih lanjut mengenai
perputaran kas agar dapat diketahui seberapa lama piutang dapat kembali menjadi
kas dalam satu periode. Setelah diketahui, perusahaan dapat menentukan
kebijakan yang dapat membantu memperlancar efisiensi dari piutang.
Dari
perhitungan perputaran piutang, terdapat dua teori yang hampir sama yang
digunakan oleh Horne dan Wachowicz (1997, p. 140) dalam menghitung
perputaran piutang, berikut formulanya.
Tingkat
Perputaran Piutang = Penjualan Kredit
bersih tahunan
Piutang
Sedangkan
periode penagihannya:
Periode
Penagihan = Banyaknya hari dalam tahun
Perputaran Piutang
Dari
formula perhitungan perputaran piutang yang digunakan menurut Husnan (1998, hal. 469) juga memberikan
formula yang secara garis besar memiliki kesamaan dari formula sebelumnya,
berikut formulanya:
Tingkat
Perputaran Piutang = Penjualan
Rata-rata
Piutang
Rata-rata
piutang ditemukan dengan menjumlah piutang tahun pertama dan tahun ke
duakemudian dibagi dua. Sedangkan periode penagihannya:
Periode
Penagihan = Banyaknya hari dalam tahun
Perputaran Piutang
Semakin
banyak atau cepat perputaran piutang, maka semakin efisien pengelolaan piutang.
Semakin sedikit periode penagihan dalam satu periode, maka akan semakin efisien
penagihan piutang pada periode tersebut, sebab semakin cepat pelanggan yang
membayarkan kreditnya kepada perusahaan, jika jumlah hari penagihan lebih
banyak dari syarat pembayaran jatuh tempo maksimal maka hal tersebut mengisyaratkan
banyak kredit yang telat dibayarkan oleh pelanggan, dan pengelolaan piutang
menjadi tidak efisien.
3.1.8 Persediaan
3.1.8.1 Pengelolaan Persediaan
Pengelolaan
persediaan memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan agar pengelolaan
tersebut dapat berlaku dengan baik. Horne dan Wachowicz (1997, p. 272) menjelaskan mengenai
persediaan yang membentuk hubungan antara produksi dan penjualan produk.
Jenis-jenis persediaan pada perusahaan manufaktur antara lain adalah bahan
mentah, barang setengah jadi, persediaan dalam pemindahan dan barang jadi.
Berikut hal perlu diperhatikan dalam manajemen persediaan.
1) Kuantitas
pesanan ekonomis
Kuantitas persediaan
untuk dipesan sehingga total biaya persediaan dapat diminimumkan sepanjang
periode perencanaan perusahaan.
2) Titik
pemesanan
Perlu diperhatikan kapan waktu yang
tepat untuk perusahaan sehingga harus memesan. Tenggang waktu merupakan faktor
yang harus dipertimbangkan.
Menurut
Husnan (1998, hal.
481),
persediaan yang tinggi memungkinkan perusahaan memenuhi permintaan yang mendadak, namun persediaan yang tinggi akan menyebabkan
perusahaan memerlukan modal kerja yang makin besar pula. Perusahaan harus
menentukan besarnya persediaan agar dapat mencukupi permintaan pasar. Dengan
begitu, saat permintaan pasar dapat terpenuhi perusahaan akan memperoleh
keuntungan, konsekuensinya adalah jumlah modal kerja yang besar untuk memenuhi
kenaikan permintaan, untuk itulah diperlukan manajemen persediaan agar pada
saat tertentu perusahaan dapat menaikan maupun menurunkan persediaan.
Menurut
Atmaja (2001, hal.
404),
manajemen persediaan (inventory
management) memiliki fokus pada dua pertanyaan mendasar, yaitu:
1)
Berapa unit persediaan yang harus dipesan pada suatu waktu?
2)
Kapan persediaan harus dipesan?
Dengan
demikian, pengelolaan atau manajemen persediaan berfokus pada pengelolaan dua
hal utama dalam persediaan, dan hal tersebut adalah mengenai pengelolaan yang
baik terhadap jumlah unit persediaan yang harus disediakan perusahaan pada saat
tertentu sehingga tercipta keselarasan antara jumlah persediaan yang dibutuhkan
perusahaan dengan waktu yang tepat sehingga persediaan menjadi efektif untuk
menunjang penjualan sehingga dapat mendukung naiknya laba perusahaan.
3.1.8.2 Fungsi Persediaan
Dilihat
dari fokus dalam manajemen persediaan yang telah disampaikan oleh berbagai
penulis di atas, fungsi persediaan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Mengelola
sejumlah unit persediaan agar tidak sampai terjadi kekurangan terhadap kebutuhan
perusahaan dalam hal produksi dan kebutuhan pasar dalam hal penjualan yang
berujung pada profit.
2) Memastikan
sejumlah persediaan tersedia pada waktu yang tepat, sehingga tidak terjadi
penundaan (delay) yang terlalu lama
yang akan menimbulkan biaya dan tidak terpenuhinya target waktu produksi dan
penjualanpun akan ikut terpengaruh ketika permintaan naik namun persediaan
belum kunjung datang.
3) Secara
menyeluruh jumlah persediaan dan waktu yanng tepat dalam menghasilkan atau
memesan persediaan akan berpengruh pada produktifitas sehingga berpengaruh juga
terhadap penjualan ketika persediaan tidak dapat memenuhi permintaan, memang
tidak secara langsung mengalami kerugian, namun perusahaan kehilangan
kesempatan menjual persediaan pada pelanggan, jika tidak segera dipenuhi maka
pelanggan akan memilih perusahaan lain, itu kerugian tidak langsungnya.
3.1.8.3 Perputaran Persediaan
Dalam
menghitung efisien tidaknya persediaan perusahaan perlu adanya analisa lebih
lanjut terhadap persediaan tersebut. Perusahaan dapat menggunakan perputaran
persediaan untuk dapat menjawab hal tersebut. Horne dan Wachowicz (1997, p. 142) menyatakan bahwa
aktivitas persediaan bertujuan untuk membantu menentukan keefektifan perusahaan
dalam mengelola persediaan, dan dihitung dengan rasio perputaran persediaan.
Tingkat
Perputaran Persediaan = Harga Pokok Penjualan
Pesediaan
Hasil
perputaran yang semakin kecil menunjukkan bahwa manajemen persediaan tidak
efisien. Dan menjadi efisien ketika tingkat perputaran menjadi semakin besar.
Sedangkan
Husnan (1998, hal.
544),
menggunakan formula berikut untuk menghitung perputaran persediaan dalam satu
periode.
Tingkat
Perputaran Persediaan = Penjualan
Rata-rata Persedian
Rata-rata
persediaan ditemukan dengan menjumlah persedian tahun pertama dan tahun ke dua
kemudian dibagi dua. Periode keterkaitan dana dalam persediaan adalah sebagai
berikut.
Periode
Persediaan = Banyaknya hari dalam tahun
Perputaran
Persediaan
Menurut
Brigham dan Houston (2001, hal.
81),
rasio peputaran persediaan (inventory
turnover ratio) didefinisikan sebagai penjualan dibagi dengan persediaan:
Rasio
Perputaran Persediaan = Penjualan
Pesediaan
Ketiga
formula tersebut, secara garis besar tidak jauh berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Kesimpulannya adalah dalam menentukan perputaran persediaan,
perusahaan membandingkan antara penjualan dengan persediaan dalam periode
tertentu. Dengan mengetahui perputaran persediaan, akan menunjukkan efisiensi
dari manajemen persediaan. Semakin kecil tingkat perputaran persediaan akan
menunjukkan pengelolaan persediaan yang makin tidak efisien, begitu pula
sebaliknya.
3.1.9 Sekuritas
3.1.9.1 Pengertian Sekuritas
Sekuritas (marketable security) merupakan surat-surat berharga yang segera
dapat dijual untuk memperoleh uang kas. Marketable
securities merupakan surat-surat berharga yang dapat diuangkan dengan mudah
dan diperjualbelikan di pasar uang (bursa modal jangka pendek).
Motif penanaman
modal dalam marketable securities ada tiga yaitu:
1)
Motif transaksi (transaction
motive) yaitu pembelian marketable securities yang akan dijual kembali
untuk menutup pembayaran yang sudah diketahui sebelumnya. Sebelum saat
pembayaran kewajiban perusahaan dapat menginvestasikan uang kas tersebut dalam
marketable securities yang jatuh temponya sebelum pembayaran berbagai
kewajiban.
2)
Motif berjaga-jaga (precautionary
motive) yaitu penanaman modal dalam marketable securities untuk mendapatkan
sejumlah aktiva lancar yang dapat diuangkan dengan segera, untuk memenuhi
berbagai pengeluaran yang tidak diperkirakan sebelumnya.
3)
Motif spekulasi (speculatif
motive) yaitu investasi dalam marketable
securities karena tidak adanya investasi lain dari uang kas yang sementara
waktu belum digunakan. Keadaan tersebut bukan suatu hal yang biasa terjadi.
Investasi dalam marketable securities baru
akan diuangkan jika perusahaan sudah menemukan investasi yang lebih tepat dari
dana tersebut.
Ada beberapa
alasan perusahaan memiliki surat berharga yaitu: untuk menggunakan dana
sementara yang lebih guna diinvestasikan dalam surat berharga yang dijual oleh
emiten (perusahaan yang mengeluarkan saham). Apabila suatu sekuritas telah
diperjual-belikan di pasar sekunder (bursa efek), maka jual-beli sekuritas
tersebut dilakukan oleh pialang (makelar). Karena pemilikan sekuritas ini hanya
sementara saja (kurang dari 1 tahun), maka investasi pada surat berharga
dimasukkan dalam investasi jangka pendek. Sekuritas tersebut dimiliki hanya
dalam jangka pendek saja dengan maksud agar dapat segera diuangkan (dijual)
jika sewaktu-waktu perusahaan memerlukan dana dalam operasinya. Sebenarnya,
investasi pada sekuritas ada yang berjangka panjang (dimiliki lebih dari 1
tahun). Jika investasi pada sekuritas tersebut untuk jangka panjang, maka
investasi tersebut dimasukkan sebagai investasi jangka panjang yang tertera
pada pos investasi (investment) pada
neraca.
Alasan lain
perusahaan memiliki sekuritas ini adalah untuk menjaga likuiditas perusahaan
dan memperoleh pendapatan dari investasi tersebut. Sekuritas memiliki sifat
yang likuid (mudah diuangkan atau dijual), sehingga apabila perusahaan
kekurangan uang kas maka sekuritas ini dapat segera dijual. Dalam hal ini
berarti pemilikan sekuritas berfungsi sebagai pengganti saldo kas. Di samping
itu, pemilikan sekuritas dimaksudkan untuk memperoleh pendapatan berupa
keuntungan. Keuntungan tersebut dapat berupa dividen, bunga atau capital gain.
Dividen akan diperoleh oleh perusahaan apabila sekuritas tersebut berupa saham
dan dimiliki sampai waktu pembayaran dividen (biasanya dividen dibayarkan
sekali dalam setahun). Sedangkan pendapatan bunga akan diperoleh jika
perusahaan menginvestasikan dananya dengan membeli sekuritas berupa obligasi
atau sertifikat deposito. Sedangkan capital gain akan diperoleh apabila hasil
penjualan suatu sekuritas lebih tinggi daripada harga perolehannya.
3.1.9.2 Kriteria Pemilihan Sekuritas
Kriteria
pemilihan sekuritas dapat dilihat dari berbagai macam pertimbangan, yaitu
meliputi risiko keuangan (financial
risk), risiko suku bunga (interest
rate risk), risiko likuiditas (liquidity
risk), risiko inflasi dan tingkat keuntungan yang diharapkan. Berbagai
pertimbangan tersebut akan menentukan besarnya dana yang akan ditanamkan dalam
sekuritas (surat berharga) jangka pendek. Perusahaan akan berusaha memperkecil
risiko yang mungkin dihadapi dengan harapan memperoleh keuntungan (return) yang maksimal. Risiko keuangan
merupakan risiko tidak kembalinya dana yang diinvestasikan pada sekuritas
sesuai dengan yang diinginkan perusahaan. Ketidakpastian pengembalian dana yang
telah diinvestasikan (beserta bunganya jika berupa obligasi) pada sekuritas
sering sulit diprediksikan. Adakalanya peminjam menunggak dalam jangka waktu
yang tidak ditentukan. Jika peminjam tidak dapat mengembalikan dananya, maka
perusahaan akan mengalami kesulitan likuiditas, apalagi jika tidak memiliki
cadangan kas yang cukup untuk biaya operasi perusahaannya.
Harga sekuritas yang berupa obligasi
sangat terpengaruh dengan naik-turunnya suku bunga. Obligasi berjangka pendek
relatif lebih stabil dibanding obligasi berjangka panjang dalam hubungannya
dengan suku bunga ini. Apabila suku bunga naik, para investor cenderung
mengalihkan dananya ke instrumen perbankan, sehingga harga obligasi akan turun.
Dan sebaliknya jika suku bunga bank turun, maka investor akan beramai-ramai
menginvestasikan dananya pada obligasi sehingga harga obligasi akan meningkat.
Risiko likuiditas sekuritas
merupakan cepat lambatnya sekuritas yang bersangkutan dapat diperjual belikan.
Sekuritas yang likuid berarti sekuritas tersebut cepat laku terjual. Apabila
suatu sekuritas tidak likuid, maka perusahaan atau pihak yang memiliki
sekuritas tersebut akan menurunkan harganya agar laku dijual. Penurunan harga
ini mengakibatkan keuntungan yang diperoleh akan berkurang atau bahkan akan
menderita kerugian jika penurunan harganya sampai melebihi harga perolehannya.
Semakin likuid suatu saham, maka makin kecil risiko likuiditasnya karena
sekuritas tersebut dapat diperjual belikan setiap saat.
Risiko inflasi pada prinsipnya
hampir sama dengan risiko tingkat bunga. Kita tahu bahwa antara tingkat bunga
dan inflasi memiliki hubungan yang erat. Tingkat suku bunga yang tinggi
mengakibatkan tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi merupakan kecenderungan
naiknya harga barang-barang. Tingginya inflasi akan menurunkan daya beli
masyarakat. Risiko inflasi ini mengakibatkan pada risiko penurunan daya beli.
Pihak yang lebih merasakan dampak dari risiko inflasi ini adalah mereka yang
memiliki surat berharga dengan pendapatan tetap seperti obligasi bila
dibandingkan dengan surat berharga yang memiliki penghasilan meningkat (seperti
saham). Oleh karena itu, saham biasa yang diperjual belikan di bursa efek
memiliki stabilitas yang lebih aman dibandingkan obligasi yang memberikan
pendapatan tetap. Pada situasi inflasi yang cenderung meningkat, perusahaan
akan lebih untung bila melakukan investasi pada saham.
Kriteria terakhir yang perlu
dipertimbangkan dalam melakukan investasi pada sekuritas adalah memperhitungkan
hasil yang diharapkan (yield) berupa
keuntungan. Besarnya yield atau
sering pula disebut return ini akan
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain tersebut di atas yaitu adanya risiko
keuangan, risiko tingkat bunga, risiko likuiditas, dan risiko inflasi atau
risiko daya beli. Risiko-risiko tersebut akan mempengaruhi besarnya hasil yang
akan diperoleh baik langsung maupun tidak langung. Risiko keuangan dan risiko
likuiditas lebih dapat dikontrol daripada risiko tingkat bunga dan risiko
inflasi. Hal ini karena risiko keuangan dan risiko likuiditas lebih banyak
berhubungan dengan kemampuan perusahaan dalam mengelola keuangannya. Sedangkan
risiko tingkat bunga dan risiko inflasi lebih banyak berhubungan dengan kondisi
ekonomi secara keseluruhan. Hasil yang diharapkan (yield) oleh perusahaan dalam hubungannya dengan risiko-risiko yang
mungkin terjadi mengharuskan perusahaan melakukan portofolio atau diversifikasi
(penganekaragaman) investasi pada sekuritas. Perusahaan melakukan portofolio
investasi berarti bahwa dana yang dimiliki oleh perusahaan ditanamkan pada
sekuritas yang bermacam-macam. Perusahaan jangan sampai menanamkan dananya
hanya pada satu jenis sekuritas saja, karena apabila sekuritas tersebut
harganya “anjlok” maka perusahaan akan mengalami kerugian yang cukup besar.
Perusahaan perlu mengikuti pepatah investasi “jangan tempatkan telor-telor yang
anda miliki dalam satu keranjang saja” (don't
put your eggs in one basket).
Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan
portofolio investasi. Tujuan portofolio ini adalah untuk memperkecil risiko
yang mungkin dihadapi. Kita tahu bahwa dalam situasi ekonomi yang normal
(stabil) maka antara risiko dan hasil memiliki hubungan yang linier. Semakin tinggi
risiko semakin tinggi pula hasil yang diharapkan, dan sebaliknya. Oleh karena
itu, dengan portofolio ini perusahaan berusaha untuk melakukan investasi dengan
portofolio yang optimal. Portofolio yang optimal adalah portofolio yang
menghasilkan risiko terkecil (minimal) dengan hasil tertentu atau memperoleh
hasil yang maksimal dengan risiko tertentu.
3.1.10 Kebijakan Modal Kerja
Kebijakan
modal kerja dihubungkan dengan jangka waktu pinjaman dan tingkat bunga, makin
panjang umur pinjaman makin tinggi tingkat bunganya. Pinjaman jangka panjang
untuk modal kerja, pihak yang meminjam harus membayar bunga yang lebih besar
daripada pinjaman jangka pendek. Karena masa mendatang adalah penuh
ketidakpastian sehingga pihak yang memberi pinjaman memperhitungkan risiko
ketidakpastian tersebut. Modal kerja yang dipenuhi dengan pinjaman jangka
panjang memiliki tingkat likuiditas tinggi, risiko kegagalan memenuhi
kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo kecil. Pada umumnya perusahaan menggunakan
pinjaman jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan modal kerjanya, dan perusahaan
yang demikian disebut menganut kebijakan modal kerja yang konservatif.
Kebijakan
modal kerja yang lainnya adalah bahwa modal kerja harus dihubungkan dengan
harta. Harta lancar sebaiknya dibiayai dengan utang lancar, harta tetap
sebauiknya dibiayai dengan utang jangka panjang dan modal sendiri. Perusahaan
yang mampu melaksanakan kegiatan bisnis dengan kebijakan modal kerja yang
demikian melakukan kebijakan modal kerja yang agresif; risikonya besar karena semua
kewajiban yang jatuh tempo harus dapat dipenuhi oleh tersedianya harta lancar.
Perusahaan yang melakukan kebijakan model ini lebih banyak gagalnya, karena
struktur harta lancar itu ada yang sulit dicairkan menjdai uang tunai yaitu
persediaan, khususnya persediaan barang setengah jadi atau persediaan barang
dalam proses. Perusahaan pada umumnya memiliki tiga jenis kebijakan modal
kerja, yaitu:
1)
Kebijakan Konservatif
Merupakan
pemenuhan modal kerja yang lebih baik banyak menggunakan sumber dana jangka
panjang dibandingkan sumber dana jangka pendek. Modal kerja permanen dan
sebagian modal kerja variable dipenuhi oleh sumber dana jangka panjang, dan
sebagian modal kerja variable lainnya dipenuhi dengan sumber dana jangka
pendek.
2)
Kebijakan Moderat / Hedging
Perusahaan
membiayai aktiva dengan dana yang jangka waktunya kurang lebih sama dengan
perputaran aktiva tersebut yaitu aktiva yang bersifat permanen dan modal kerja
permanen akan didanai dengan sumber dana jangka panjang dan aktiva yang
bersifat variebal atau modal kerja variebal akan didanai dengan sumber dana
jangka pendek (matching principle).
3)
Kebijakan Agresif
Sebagian
kebutuhan dana jangka panjang dipenuhi dengan sumber dana jangka pendek. Pada
pendekatan ini perusahaan berani menanggung resiko yang cukup besar.
4.1 Kesimpulan
Modal
kerja merupakan aspek penting dalam manajemen pembelanjaan perusahaan. Apabila
perusahaaan tidak dapat mempertahankan tingkat modal kerja yang memuaskan, maka
kemungkinan perusahaan berada dalam keadaan ”insolvent”
(tidak mampu membayar kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo) dan bahkan
mungkin terpaksa harus dilikuidasi atau bangkrut. Dalam perusahaan atau badan
usaha salah satu peranan modal kerja adalah menjamin kontinuitas perusahaan
yang menyangkut penggunaan modal, sehingga dapat menentukan modal kerja yang
cukup. Perusahaan dihadapkan pada masalah seberapa besar tingkat efisiensi dan
efektivitas penggunaan modal kerja yang harus dikelola perusahaan.
Dalam
analisis penggunaan dana tidak terlepas dari laporan keuangan, karena neraca
terdiri dari aktiva dan passiva yang mencerminkan hasil keputusan pendanaan.
Sedangkan perhitungan laba rugi dapat dilihat dari seberapa efektifnya
penggunaan aktiva yang mendukung penjualan dan seberapa efisien laba yang
diperoleh dapat digunakan untuk memberikan imbalan kepada para pemilik dana dan
sebagai sumber dana untuk investasi. Sehingga dengan menganalisis efisiensi dan
efektivitas penggunaan dana akan diketahui bagaimana kebijaksanaan yang
ditempuh oleh pimpinan perusahaan dalam mengoperasikan dana yang ada dan dapat
diketahui efisiensi dari dana yang dioperasikan.
4.2 Saran
Penulis
berharap tulisan ilmiah ini dapat menambah wawasan bagi seluruh Mahasiswa
khususnya para pembaca agar tergugah untuk terus dapat meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dalam menciptakan sistem-sistem untuk mempermudah
penyelesaian suatu laporan dan dapat menambah pengetahuan bagi rekan-rekan
mahasiswa. Demi penyempurnaan tulisan ilmiah ini, Penulis mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, K. (1997).
Dasar - Dasar Manajemen Modal Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Atmaja, L. S. (2001). Manajemen Keuangan.
Yogyakarta: Andi.
Brealy, M., & Marcus. (2007). Dasar
- Dasar Manajemen Keuangan Perusahaan, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Brigham, E. F. (2001). Manajemen Keuangan,
Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Horne, J. C. (1997). Prinsip - Prinsip Manajemen Keuangan.
Jakarta: Salemba Empat.
Husnan, S. (1998). Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan
(Keputusan Jangka Pendek) Buku 2. Yogyakarta: BPFE.
Riyanto, B. (1999). Dasar - Dasar Pembelanjaan Perusahaan.
Yogyakarta: BPFE.
0 komentar:
Posting Komentar