Jumat, 12 Februari 2016

MANAJEMEN MODAL KERJA


3.1       Manajemen Modal Kerja

3.1.1    Pengertian Manajemen Modal Kerja

Menurut Horne dan Wachowicz (1997, p. 214) manajemen modal kerja adalah administrasi aktiva lancar perusahaan dan pendanaan yang dibutuhkan untuk mendukung aktiva lancar. Sehingga, manajemen modal kerja berarti mengelola aktiva lancar yang diperlukan perusahaan untuk menjalankan kegiatan operasinya, serta pengelolaan terhadap dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan aktiva lancar tersebut.
Dari proses di atas, maka pengelolaan terhadap komponen dalam modal kerja secara otomatis menjadi bagian dari pengelolaan terhadap modal kerja tersebut. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa modal kerja terdiri dari beberapa komponen yang terdapat di dalamnya. Pengaturan terhadap komponen modal kerja (kas, piutang, persediaan) perlu diperhatikan baik dari segi jangka waktu perputarannya maupun dari segi seberapa banyak porsi yang terkandung dalam komponen modal kerja tersebut (Husnan, 1998).
Dengan demikian, manajemen modal kerja berarti merupakan proses mengelola tiap komponen yang terdapat dalam modal kerja guna memberikan dampak positif terhadap perusahaan. Pengelolaan jangka waktu perputaran modal kerja menjadi penting dalam upaya agar modal kerja tidak terlalu lama berputar dalam suatu periode sehingga dapat makin efisien. Penentuan porsi dari komponen modal kerja juga akan menentukan porsi dari aktiva lancar perusahaan. Keputusan untuk menentukan besarnya modal kerja yang akan menentukan berapa jumlah aktiva lancar yang akan dimiliki perusahaan.  

3.1.2    Fungsi Manajemen Modal Kerja

Dilihat dari definisi dari manajemen modal kerja, dapat dilihat seberapa besar peran darinya terhadap perusahaan. Weston dan Bringham dalam Ahmad (1997, pp. 1-2), pengelolaan modal kerja menjadi penting karena menyangkut beberapa aspek:
1)      Beberapa penelitian telah memberikan indikasi bahwa sebagian besar waktu manajer keuangan dihabiskan dalam kegiatan internal perusahaan dari hari ke hari, dan ini merupakan bagian dari manajemen modal kerja.
2)      Kenyataannya jumlah aktiva lancar sering lebih dari separuh total aktiva perusahaan dan cenderung labil.
3)      Hubungan antara tingkat pertumbuhan penjualan dan kebutuhan akan permodalan aktiva lancar adalah dekat dan langsung. 
4)      Khususnya bagi perusahaan kecil, manajemen modal kerja terlebih-lebih pentingnya, dengan alasan:
a.       Investasi dalam aktiva tetap dapat dikurangi dengan menyewa atau leasing, tetapi aktiva lancar apalagi piutang maupun inventory (persediaan) tidak dapat dihindari.
b.      Relatif terbatasnya perusahaan kecil untuk memasuki pasar modal jangka panjang, sehingga harus mengandalkan utang dagang dan utang bank jangka pendek sebagai permodalannya, meningkatnya utang lancar akan mengurangi modal kerja bersihnya.
Sedangkan Ahmad (1997, p. 6) menyatakan peran dari manajemen modal kerja karena dua fungsi dari modal kerja tersebut, yaitu:
1)      Menopang kegiatan produksi dan penjualan atau sebagai jembatan saat pengeluaran pembelian persediaan dengan penjualan dan penerimaan kembali hasil pembayaran.
2)      Menutup dana atau pengeluaran tetap dan dana yang tidak berhubungan secara langsung dengan produksi dan penjualan.
Sedangkan Horne dan Wachowicz (1997, p. 215), menyatakan bahwa manajemen modal kerja juga mendasari dua keputusan penting peusahaan. Manajemen modal kerja ini merupakan penentu dari:
1)      Tingkat optimal dari investasi pada aktiva lancar
Mengurangi tingkat investasi aktiva lancar, namun masih mampu mendukung penjualan, akan meningkatkan pengembalian perusahaan pada total aktiva. Untuk kondisi ini, jika biaya dari pembiayaan jangka pendek lebih sedikit dari pada untuk jangka menengah dan jangka panjang, maka akan semakin besar proporsi hutang jangka pendek terhadap total hutang dan semakin tinggi tingkat kemampuan memperoleh laba perusahaan.
2)      Perpaduan yang sesuai antara pembiayaan jangka panjang yang digunakan untuk mendukung investasi pada aktiva lancar.
Husnan (1998, hal. 550) menyatakan bahwa semakin besar kemampuan modal kerja menghasilkan keuntungan operasi, maka semakin efisien pengelolaan modal kerja tersebut.Dengan demikian, modal kerja dapat berpengaruh pada keuntungan operasiperusahaan. Bukti dari efisiennya manajemen modal kerja juga dapat dilihat dari kemampuan modal kerja dalam menghasilkan keuntungan operasi. Saat kemampuan modal kerja dalam menghasilkan keuntungan operasi makin tinggi, maka menunjukkan makin efisiennya manajemen modal kerja dari perusahaan.
Brealy, Myers, & Marcus (2007, hal. 244) menyebutkan bahwa ketika perusahaan meningkatkan persediaan bahan mentah atau produk jadi, kas perusahaan akan berkurang; pengurangan kas akan mencerminkan investasi perusahaan dalam persediaan. Dengan begitu, persediaan yang naik akan menyebabkan penurunan kas, kas juga akan berkurang ketika piutang terlambat dibayarkan oleh pelanggan, atau ketika piutang naik maka investasi kas dalam piutang akan naik pula.
Dari berbagai hal yang telah disampaikan, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai modal kerja, pengaruhnya terhadap perusahaan. Berikut beberapa hal yang dapat disimpulkan tersebut:
1)      Modal kerja dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasi perusahaan. Sehingga perubahan terhadap masing-masing komponennya dapat menyebabkan perubahan tertentu pada pos keuangan lainnya.
2)      Ketika jumlah modal kerja terlalu besar, maka menjadi tidak efisien, sebab dana yang tertanam dalam modal kerja akan melebihi kebutuhan dan secara otomatis tidak akan menghasilkan laba (khusunya pada dana yang tertanam dalam bentuk kas dan persediaan, untuk piutang memang dapat menghasilakan laba, namun jika terlalu besar juga tidak baik, sebab risiko pasar yang tidak menentu). Ketika modal kerja terlalu sedikit tentu saja akan dapat menyebabkan terganggunya kegiatan operasi perusahaan, serta terpengaruhnya likuiditas dan profitabilitas perusahaan.
3)      Manajemen modal kerja memang berkutat pada pendanaan jangka pendek, namun tidak dapat dilepaskan begitu saja terhadap pendanaan jangka panjang, sebab laba yang diperoleh darinya dapat digunakan juga untuk kepentingan jangka panjang, salah satunya adalah dengan investasi jangka panjang. Dengan begitu, modal kerja yang berlebihan akan dapat memunculkan risiko kesempatan, kesempatan untuk dapat menggunakan kelebihan dana tersebut untuk investasi lain akan hilang sebab dana telah digunakan pada pos modal kerja. Risiko ini dapat muncul juga ketika perushaan harus kehilangan kesempatan untuk menggunakan dana tersebut untuk membayar kewajibannya, misalnya dana berlebih yang telah terlanjur tertanam pada pos piutang ataupun persediaan maka perusahaan akan sulit untuk segera mencairkannya menjadi kas untuk membayar kewajibannya, sebab tidak selikuid kas.

3.1.3   Klasifikasi Modal Kerja

Pada dasarnya modal kerja bersifat fleksibel, yaitu dapat dengan mudah diperbesar maupun diperkecil sesuai dengan kebutuhan perusahaan, sedangkan bagian sulitnya adalah menentukan jumlah dari perubahan tersebut. Selain itu, masing-masing perusahaan dapat memiliki tipe modal kerja yang berbeda sesuai dengan bidang usaha dan kebutuhan dari masing-masing perusahaan.  Modal kerja dalam suatu perusahaan dapat digolongkan berdasarkan kebutuhan akan modal kerja itu sendiri (Riyanto, 1999, hal. 58), berikut merupakan dua penggolongannya:
1)      Modal Kerja Permanen (Permanent Working Capital)
Yaitu modal kerja yang harus selalu ada pada perusahaan agar dapat berfungsi dengan baik dalam satu periode akuntansi. Modal kerja permanen terbagi menjadi dua :
a.       Modal kerja primer (primary working capital) adalah sejumlah modal kerja minimum yang harus ada pada perusahaan untuk menjamin kelangsungan kegiatan usahanya.
b.      Modal kerja normal (normal working capital) yaitu sejumlah modal kerja yang dipergunakan untuk dapat menyelenggarakan kegiatan produksi pada kapasitas normal. Kapasitas normal mempunyai pengertian yang fleksibel menurut kondisi perusahaannya.
2)      Modal Kerja Variabel (Varieble Working Capital)
Yaitu modal kerja yang dibutuhkan saat-saat tertentu dengan jumlah yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan keadaan dalam satu periode. Modal kerja variabel dapat dibedakan menjadi tiga macam :
a.       Modal kerja musiman (seasonal working capital) yaitu sejumlah modal kerja yang besarnya berubah-ubah disebabkan oleh perubahan musim.
b.      Modal kerja siklis (cyclis working capital) yaitu sejumlah modal kerja yang besarnya berubah-ubah disebabkan oleh perubahan permintaan produk.
c.       Modal kerja darurat (emergency working capital) yaitu modal kerja yang besarnya berubah-ubah yang penyebabnya tidak diketahui sebelumnya (misalnya kebakaran, banjir, gempa bumi, buruh mogok dan sebagainya).

3.1.4    Faktor – Faktor  yang Mempengaruhi Modal Kerja

1.      Volume Penjualan
Perusahaan membutuhkan modal kerja untuk mendukung kegiatan operasional pada saat terjadi peningkatan penjualan
2.      Faktor Musim dan Siklus
Fluktuasi dalam penjualan yang disebabkan oleh factor musim dan siklus akan mempengaruhi kebutuhan akan modal kerja.
3.      Perubahan dalam tekhnologi
Jika terjadi pengembangan tekhnologi maka akan berhubungan dengan proses produksi dan akan membawa dampak terhadap kebutuhan akan modal kerja
4.      Kebijakan perusahaan
Kebijakan yang diterapkan oleh perusahaan juga akan membawa dampak terhadap kebutuhan modal kerja.

3.1.5    Penentuan Besarnya Kebutuhan Modal Kerja

Besar kecilnya modal kerja tergantung dari dua faktor :
1)      Periode perputaran atau periode terikatnya modal kerja
Merupakan keseluruhan atau jumlah dari periode yang meliputi jangka waktu pemberian kredit beli, lama penyimpanan bahan mentah di gudang, lamamya proses produksi, lamanya barang di simpan digudang, jangka waktu penerimaan piutang.
2)      Pengeluaran kas rata-rata setiap hari
Merupakan jumlah pengeluaran kas rata-rata setiap hari untuk keperluan bahan mentah, bahan pembantu, pembayaran upah buruh, dan lain-lain. Modal kerja makin besar jika:
a.       Jumlah pengeluaran kas setiap hari tetap, periode perputaran lama
b.      Periode perputaran tetap, jumlah pengeluaran kas besar.

3.1.6    Kas

3.1.6.1 Pengelolaan Kas

Manajemen kas mencakup pengumpulan yang efisien serta digunakan untuk kepentingan pembayaran dan ivestasi yang dilakukan oleh kas, sehingga salah satu upaya untuk mencapai efisiensi pada kas adalah dengan mempercepat penerimaan kas dan memperlambat pengeluaran kas (Horne, 1997, p. 232). Dengan demikian, semakin cepat penerimaan kas maka semakin efisien pengelolaan kas pada suatu perusahaan, begitu pula sebaliknya ketika kas semakin lambat dalam proses perputarannya, sehingga pengelolaan kas menjadi semakin tidak efektif. Upaya untuk meningkatkan efisiensi kas dengan mempercepat penerimaan kas dapat dilakukan dengan memperpendek jangka waktu piutang, atau memperlambat pembayaran kewajiban.
Seakan senada dengan pernyataan di atas, Husnan (1998, hal. 459)  juga menyebutkan bahwa ide dasar dari manajemen kas adalah mempercepat pengumpulan (dan memanfaatkan) kas dan memperlambat pengeluaran kas. Dengan demikian, kegiatan utama dari manajemen kas adalah untuk dapat mengelola kas dengan efisien, sehingga tercipta kondisi dimana kas dapat dikumpulkan dengan cepat dan sedapat mungkin memperlambat pengeluaran kas hingga pada saat tertentu harus dikeluarkan dengan berbagai pertimbangan.
Menurut Atmadja (2001, hal. 385), karena kas tidak memberikan penghasilan atau bunga, maka tujuan manajemen kas adalah meminimumkan jumlah kas yang harus ada pada perusahaan agar aktivitas perusahaan dapat berjalan normal, namun pada saat yang sama, perusahaan memiliki kas yang cukup untuk mengambil diskon pembelian, melunasi hutang yang jatuh tempo, dan memenuhi kebutuhan kas yang tidak terduga. Dengan meminimalkan jumlah dana yang terdapat dalam kas diharapkan perusahaan dapat memanfaatkan keluaran dana untuk dapat menghasilkan profit, namun pada saat yang samapemenuhan kebutuhan perusahaan akan likuiditas juga tidak terganggu.
Dengan demikian, manejemen kas menjadi penting karena kas merupakan aktiva perusahaan yang sangat besar perannya terhadap pemenuhan kebutuhan perusahaan, sehingga pemenuhan terhadap kas juga perlu dipenuhi perusahaan, perusahaan harus memiliki kas pada titik tertentu agar masih dapat menjamin terlaksananya kegiatan operasi perusahaan dan sehingga dapat menghasilkan profit, selain terhadap pendanaan, kas juga berpengaruh terhadap keputusan investasi perusahaan.

3.1.6.2 Fungsi Kas

Kas merupakan aspek penting yang berperan besar dalam kegiatan operasi perusahaan. Dari fungsi kas yang sangat penting tersebut menurut Keynes dalam Husnan (1998, hal. 452) menyatakan bahwa ada tiga motif untuk memiliki kas, yaitu:
1)      Motif Transaksi
Motif transaksi berarti perusahaan menyediakan kas untuk membayar  berbagai transaksi bisnisnya. Baik transaksi yang reguler (seperti membayar  gaji dan berbagai biaya administrasi) maupun yang tidak reguler (seperti melunasi hutang, membayar pembelian aktiva tetap).
2)      Motif Berjaga-jaga 
Motif berjaga-jaga dimaksudkan untuk mepertahankan saldo kas guna memenuhi permintaan kas yang sifatnya tidak terduga. Seandainya semua  pengeluaran dan pemasukan kas bisa diprediksi secara akurat, maka saldo kas  untuk maksud jaga-jaga akan sangat rendah. Selain akurasi prediksi kas, apabila perusahaan mempunyai akses kuat ke sumber dana eksternal, saldo kas juga akan rendah. Motif berjaga-jaga ini nampaknya dalam kebijakan penentuan saldo kas minimal dalam penyusutan anggaran kas.
3)      Motif Spekulasi
Motif spekulasi dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari memiliki atau menginvestasikan kas dalam bentuk investasi yang sangat likuid. Biasanya jenis investasi yang dipilih adalah investasi sekuritas. Apabila tingkat bunga diperkirakan turun, maka perusahaan akan merubah kas yang dimiliki menjadi saham, dengan harapan harga saham akan naik apabila memang semua pemodal berpendapat bahwa suku bunga akan (dan mungkin telah) turun.
Selanjutnya Martin et.al (1991) dalam Husnan (1998, hal. 453) menyatakan bahwa motif spekulasi merupakan komponen paling kecil dari preferensi perusahaan akan likuiditas. Motif-motif transakasi dan berjaga-jaga merupakan alasan-alasan utama mengapa perusahaan memiliki kas.
Kaitannya dengan modal kerja, kas dapat menunjukkan seberapa besar investasi perusahaan dalam modal kerja, sehingga dapat diketahui cukup tidaknya modal kerja dalam kas untuk mengoperasikan perusahaan sehari-hari. Dengan demikian, perubahan dalam kas akan mempengaruhi struktur modal kerja perusahaan. Hal ini senada dengan pernyataan bahwa peningkatan modal kerja adalah investasi sehingga menyiratkan arus kas negatif; penurunan modal kerja menyiratkan arus kas positif (Brealy & Marcus, 2007, hal. 245).
Dengan demikian, motif transaksi dan motif berjaga-jaga menjadi alasan paling kuat dari dimilikinya kas oleh perusahaan. Melalui motif transaksi, perusahaan dapat memperoleh fungsi dari kas untuk membayarkan transaksi perusahaan, sedangkan dari motif berjaga-jaga, perusahaan dapat memperoleh fungsi dari kas untuk menjaga likuiditas, dan dari motif spekulasi, perusahaan dapat memperoleh fungsi dari kas dalam memperoleh keuntungan.

3.1.6.3 Perputaran Kas

Manajemen kas mencakup pengumpulan yang efisien, pembayaran dan ivestasi sementara kas, sehingga perusahaan akan diuntungkan jika penerimaan kas dapat dipercepat dan pembayaran kas dapat diperlambat (Horne, 1997). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen kas yang baik adalah manajemen kas yang efisien. Manajemen kas yang efisien dapat dilihat dari pengumpulannya terhadap kas, atau jangka waktu dari kas yang dikeluarkan untuk dapat kembali menjadi kas selama satu periode, atau biasa disebut dengan perputaran kas (cash turnover).
Dengan mengetahui perputaran kas, perusahaan dapat mengetahui berapa kali dalam satu periode kas dapat berputar kembali menjadi kas setelah diinvestasikan. Menurut Husnan (1998, hal. 544), formula untuk mengetahui perputaran kas dalam satu periode adalah sebagai berikut:
Tingkat Perputaran Kas =    Penjualan  
                                         Rata-rata Kas
Rata-rata kas ditemukan dengan menjumlah kas tahun pertama dan tahun ke dua kemudian dibagi dua. Sedangkan jumlah periode rata-rata kas dalam berputar (dalam hari) adalah sebagai berikut:
Periode Kas =   Banyaknya Hari Dalam Tahun
                                  Perputaran Kas
Semakin banyak atau semakin cepat perputaran kas dalam satu tahun maka semakin efisien pengelolaan kas suatu perusahaan. Dalam hal periode kas, semakin sedikit jumlah hari periode kas dalam satu tahun maka mengindikasikan pengelolaan kas yang juga semakin efisien.

3.1.7    Piutang

3.1.7.1 Pengelolaan Piutang

Menurut Horne dan Wachowicz (1997, p. 258), piutang merupakan jumlah uang yang dipinjam dari perusahaan oleh pelanggan yang telah membeli barang atau memakai jasa secara kredit. Dengan begitu, semua pembelian barang ataupun jasa yang dilakukan oleh konsumen dengan jalankredit atau bukan dengan pembayaran secara tunai akan menimbulkan piutang pada perusahaan. Dengan adanya piutang maka perusahaan memiliki aktiva yang berada pada konsumen. Aktiva lancar tersebut akan dibayarkan kepada perusahaan sampai waktu jatuh tempo yang telah ditentukan. Dari situ perusahaan dapat menerima aliran piutang yang menjadi kas.
Seakan sejalan dengan pernyataan di atas, Husnan (1998, hal. 467) juga menyatakan bahwa piutang tercipta pada saat perusahaan melakukan penjualan secara kredit. Penjualan kredit terhadap perusahaan lain disebut kredit dagang (trade credit), dan kredit kepada konsumen disebut sebagai kredit konsumen (consument credit). Dengan demikian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa piutang merupakan hasil dari kegiatan penjualan yang dilakukan oleh perusahaan kepada konsumen kredit.
Piutang merupakan salah satu cara untuk menaikan tingkat penjualan, namun tidak serta merta kemudia npiutang menjadi tidak perlu untuk  dikendalikan. Untuk mengendalikan piutang, perusahaan perlu menetapkan kebijaksanaan kreditnya. Kebijaksanaan ini yang kemudian berfungsi sebagai standar dari setiap kredit yang akan diberikan kepada konsumen. Manfaat yang diperoleh karena menjual secara kredit adalah tambahan laba, sedangkan pengorbanannya adalah tambahan biaya dana.
Horne dan Wachowicz (1997, p. 258) menyebutkan beberapa kebijakan kredit dan penagihan yang dapat digunakan dalam mengelola piutang suatu perusahaan, berikut merupakan kebijakan kredit dan penagihannya.
1)      Standar Pemberian Kredit
Dalam standar kredit, hal yang perlu diperhatikan adalah kualaitas minimum kepercayaan pada pemohon kredit untuk dapat disetujui permohonan kreditnya.
2)      Persyaratan Kredit (Periode Kredit /Jangka Waktu Pinjaman)
Yang menjadi fokus dalam periode kredit adalah mengenai total jangka waktu dimana pelanggan diberikan perpanjangan kredit untuk membayar tagihan.
3)      Risiko Kelalaian
Pembahasan dalam kebijakan yang dapat ditempuh dari risiko kelalaian tidak hanya mengenai waktu pembayaran tagihan yang lambat tapi juga mengenai jumlah piutang yang tidak tertagih.
4)      Prosedur dan Kebijakan Penagihan
Perusahaan menentukan keseluruhan kebijakan penagihan dengan menggabungkannya dengan prosedur yang dijalankan. Prosedur ini meliputi surat-surat, telepon, kunjungan dan tindakan-tindakan hukum. Salah satu variabel utama dalam kebijakan adalah besarnya jumlah utang yang digunakan dalam prosedur penagihan. Batasannya adalah semakin besar penagihan, semakin kecil kemungkinan piutang tidak tertagih dan semakin sedikit periode penagihan.
Sedikit berbeda dengan kebijakan kredit di atas, menurut Atmaja (2001, hal. 389), kebijakan kredit terdiri atas empat variabel, yaitu:
1)      Periode kredit yakni jangka waktu kredit yang diberikan
Menaikkan periode kredit pada umumnya dapat mendongkrak penjualan, namun ada biaya perubahan bagi perusahaan, misalnya pembayaran tertunda.
2)      Standar kredit
Standar kredit yakni merujuk pada kemampuan keuangan minimal yang harus dimiliki calon penerima kredit serta jumlah kredit yang tersedia bagi masing-masing pelanggan.
3)      Kebijakan pengumpulan
Kebijakan pengumpulan yakni merujuk pada prosedur-prosedur yang digunakan oleh perusahaan untuk menagih piutang yang sudah jatuh tempo.
4)      Kebijakan diskon
Kebijakan diskon untuk pembayaran yang dipercepat, termasuk di dalamnya jumlah dan periode diskon.
Manajemen piutang yang efektif ikut mempengaruhi tingkat keuntungan dan risiko perusahaan (Atmaja, 2001, hal. 395). Dengan demikian, semakin tinggi keuntungan yang diperoleh dari piutang maka semakin besar pula risikonya.

3.1.7.2 Fungsi Piutang

Pada dasarnya piutang berfungsi untuk dapat memberikan solusi penjualan alternatif bagi pelanggan selain secara pembayaran secara kontan, sehingga diharapkan mampu meningkatkan penjualan produk perusahaan, sebab dengan kredit pangsa pasar akan menjadi semakin luas, dari yang tadinya tidak mampu atau tidak mau membeli menjadi mampu dan mau untuk membeli produk secara kredit sehingga perusahaan dapat diuntungkan dari laba yang diperoleh dari penjualan secara kredit.
Hal ini hampir senada dengan pernyataan Husnan (1998, hal. 467) yang menyebutkan bahwa penjualan secara kredit merupakan suatu upaya untuk meningkatkan (atau untuk mencegah penurunan) penjualan. Dengan penjualan yang makin meningkat, diharapkan laba juga akan meningkat. Sayangnya memiliki piutang juga menimbulkan berbagai biaya bagi perusahaan. Untuk itu perusahaan perlu untuk melakukan analisis ekonomi tentang piutang.

3.1.7.3 Perputaran Piutang

Semakin lama jangka waktu pelunasan kredit, semakin besar dana yang diperlukan untuk membiayainya, dengan demikian piutang akan semakin tidak efisien (1998, hal. 479). Saat pelunasan kredit semakin lama, maka ketika itu juga dana yang diharapkan untuk menambah kas menjadi tertunda sebab pelanggan belum melakukan pembayaran. Ketika hal tersebut terjadi maka piutang menjadi tidak efisien dalam menambah laba ke dalam kas perusahaan. Untuk itulah diperlukan analsis lebih lanjut mengenai perputaran kas agar dapat diketahui seberapa lama piutang dapat kembali menjadi kas dalam satu periode. Setelah diketahui, perusahaan dapat menentukan kebijakan yang dapat membantu memperlancar efisiensi dari piutang.
Dari perhitungan perputaran piutang, terdapat dua teori yang hampir sama yang digunakan oleh Horne dan Wachowicz (1997, p. 140) dalam menghitung perputaran piutang, berikut formulanya.
Tingkat Perputaran Piutang =  Penjualan Kredit bersih tahunan
                                                                 Piutang

Sedangkan periode penagihannya:
Periode Penagihan = Banyaknya hari dalam tahun
                                        Perputaran Piutang

Dari formula perhitungan perputaran piutang yang digunakan menurut Husnan (1998, hal. 469) juga memberikan formula yang secara garis besar memiliki kesamaan dari formula sebelumnya, berikut formulanya:
Tingkat Perputaran Piutang =     Penjualan
                                                Rata-rata Piutang

Rata-rata piutang ditemukan dengan menjumlah piutang tahun pertama dan tahun ke duakemudian dibagi dua. Sedangkan periode penagihannya:
Periode Penagihan = Banyaknya hari dalam tahun
                                        Perputaran Piutang

Semakin banyak atau cepat perputaran piutang, maka semakin efisien pengelolaan piutang. Semakin sedikit periode penagihan dalam satu periode, maka akan semakin efisien penagihan piutang pada periode tersebut, sebab semakin cepat pelanggan yang membayarkan kreditnya kepada perusahaan, jika jumlah hari penagihan lebih banyak dari syarat pembayaran jatuh tempo maksimal maka hal tersebut mengisyaratkan banyak kredit yang telat dibayarkan oleh pelanggan, dan pengelolaan piutang menjadi tidak efisien.

3.1.8    Persediaan


3.1.8.1 Pengelolaan Persediaan

Pengelolaan persediaan memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan agar pengelolaan tersebut dapat berlaku dengan baik. Horne dan Wachowicz (1997, p. 272) menjelaskan mengenai persediaan yang membentuk hubungan antara produksi dan penjualan produk. Jenis-jenis persediaan pada perusahaan manufaktur antara lain adalah bahan mentah, barang setengah jadi, persediaan dalam pemindahan dan barang jadi. Berikut hal perlu diperhatikan dalam manajemen persediaan.
1)      Kuantitas pesanan ekonomis
Kuantitas persediaan untuk dipesan sehingga total biaya persediaan dapat diminimumkan sepanjang periode perencanaan perusahaan.
2)      Titik pemesanan
Perlu diperhatikan kapan waktu yang tepat untuk perusahaan sehingga harus memesan. Tenggang waktu merupakan faktor yang harus dipertimbangkan.
Menurut Husnan (1998, hal. 481), persediaan yang tinggi memungkinkan perusahaan memenuhi permintaan yang mendadak,  namun persediaan yang tinggi akan menyebabkan perusahaan memerlukan modal kerja yang makin besar pula. Perusahaan harus menentukan besarnya persediaan agar dapat mencukupi permintaan pasar. Dengan begitu, saat permintaan pasar dapat terpenuhi perusahaan akan memperoleh keuntungan, konsekuensinya adalah jumlah modal kerja yang besar untuk memenuhi kenaikan permintaan, untuk itulah diperlukan manajemen persediaan agar pada saat tertentu perusahaan dapat menaikan maupun menurunkan persediaan.
Menurut Atmaja (2001, hal. 404), manajemen persediaan (inventory management) memiliki fokus pada dua pertanyaan mendasar, yaitu:
1) Berapa unit persediaan yang harus dipesan pada suatu waktu? 
2) Kapan persediaan harus dipesan?
Dengan demikian, pengelolaan atau manajemen persediaan berfokus pada pengelolaan dua hal utama dalam persediaan, dan hal tersebut adalah mengenai pengelolaan yang baik terhadap jumlah unit persediaan yang harus disediakan perusahaan pada saat tertentu sehingga tercipta keselarasan antara jumlah persediaan yang dibutuhkan perusahaan dengan waktu yang tepat sehingga persediaan menjadi efektif untuk menunjang penjualan sehingga dapat mendukung naiknya laba perusahaan.

3.1.8.2 Fungsi Persediaan

Dilihat dari fokus dalam manajemen persediaan yang telah disampaikan oleh berbagai penulis di atas, fungsi persediaan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)      Mengelola sejumlah unit persediaan agar tidak sampai terjadi kekurangan terhadap kebutuhan perusahaan dalam hal produksi dan kebutuhan pasar dalam hal penjualan yang berujung pada profit.
2)      Memastikan sejumlah persediaan tersedia pada waktu yang tepat, sehingga tidak terjadi penundaan (delay) yang terlalu lama yang akan menimbulkan biaya dan tidak terpenuhinya target waktu produksi dan penjualanpun akan ikut terpengaruh ketika permintaan naik namun persediaan belum kunjung datang.
3)      Secara menyeluruh jumlah persediaan dan waktu yanng tepat dalam menghasilkan atau memesan persediaan akan berpengruh pada produktifitas sehingga berpengaruh juga terhadap penjualan ketika persediaan tidak dapat memenuhi permintaan, memang tidak secara langsung mengalami kerugian, namun perusahaan kehilangan kesempatan menjual persediaan pada pelanggan, jika tidak segera dipenuhi maka pelanggan akan memilih perusahaan lain, itu kerugian tidak langsungnya.

3.1.8.3  Perputaran Persediaan

Dalam menghitung efisien tidaknya persediaan perusahaan perlu adanya analisa lebih lanjut terhadap persediaan tersebut. Perusahaan dapat menggunakan perputaran persediaan untuk dapat menjawab hal tersebut. Horne dan Wachowicz (1997, p. 142) menyatakan bahwa aktivitas persediaan bertujuan untuk membantu menentukan keefektifan perusahaan dalam mengelola persediaan, dan dihitung dengan rasio perputaran persediaan.
Tingkat Perputaran Persediaan = Harga Pokok Penjualan
                                                                        Pesediaan

Hasil perputaran yang semakin kecil menunjukkan bahwa manajemen persediaan tidak efisien. Dan menjadi efisien ketika tingkat perputaran menjadi semakin besar.
Sedangkan Husnan (1998, hal. 544), menggunakan formula berikut untuk menghitung perputaran persediaan dalam satu periode.
Tingkat Perputaran Persediaan =       Penjualan
                                                                 Rata-rata Persedian

Rata-rata persediaan ditemukan dengan menjumlah persedian tahun pertama dan tahun ke dua kemudian dibagi dua. Periode keterkaitan dana dalam persediaan adalah sebagai berikut. 
Periode Persediaan = Banyaknya hari dalam tahun
                                                Perputaran Persediaan
Menurut Brigham dan Houston (2001, hal. 81), rasio peputaran persediaan (inventory turnover ratio) didefinisikan sebagai penjualan dibagi dengan persediaan:
Rasio Perputaran Persediaan = Penjualan
                                                              Pesediaan

Ketiga formula tersebut, secara garis besar tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kesimpulannya adalah dalam menentukan perputaran persediaan, perusahaan membandingkan antara penjualan dengan persediaan dalam periode tertentu. Dengan mengetahui perputaran persediaan, akan menunjukkan efisiensi dari manajemen persediaan. Semakin kecil tingkat perputaran persediaan akan menunjukkan pengelolaan persediaan yang makin tidak efisien, begitu pula sebaliknya.

3.1.9    Sekuritas

3.1.9.1 Pengertian Sekuritas

Sekuritas (marketable security) merupakan surat-surat berharga yang segera dapat dijual untuk memperoleh uang kas. Marketable securities merupakan surat-surat berharga yang dapat diuangkan dengan mudah dan diperjualbelikan di pasar uang (bursa modal jangka pendek).
Motif penanaman modal dalam marketable securities ada tiga yaitu:
1)      Motif transaksi (transaction motive) yaitu pembelian marketable securities yang akan dijual kembali untuk menutup pembayaran yang sudah diketahui sebelumnya. Sebelum saat pembayaran kewajiban perusahaan dapat menginvestasikan uang kas tersebut dalam marketable securities yang jatuh temponya sebelum pembayaran berbagai kewajiban.
2)      Motif berjaga-jaga (precautionary motive) yaitu penanaman modal dalam marketable securities untuk mendapatkan sejumlah aktiva lancar yang dapat diuangkan dengan segera, untuk memenuhi berbagai pengeluaran yang tidak diperkirakan sebelumnya.
3)      Motif spekulasi (speculatif motive) yaitu investasi dalam marketable securities karena tidak adanya investasi lain dari uang kas yang sementara waktu belum digunakan. Keadaan tersebut bukan suatu hal yang biasa terjadi. Investasi dalam marketable securities baru akan diuangkan jika perusahaan sudah menemukan investasi yang lebih tepat dari dana tersebut.
Ada beberapa alasan perusahaan memiliki surat berharga yaitu: untuk menggunakan dana sementara yang lebih guna diinvestasikan dalam surat berharga yang dijual oleh emiten (perusahaan yang mengeluarkan saham). Apabila suatu sekuritas telah diperjual-belikan di pasar sekunder (bursa efek), maka jual-beli sekuritas tersebut dilakukan oleh pialang (makelar). Karena pemilikan sekuritas ini hanya sementara saja (kurang dari 1 tahun), maka investasi pada surat berharga dimasukkan dalam investasi jangka pendek. Sekuritas tersebut dimiliki hanya dalam jangka pendek saja dengan maksud agar dapat segera diuangkan (dijual) jika sewaktu-waktu perusahaan memerlukan dana dalam operasinya. Sebenarnya, investasi pada sekuritas ada yang berjangka panjang (dimiliki lebih dari 1 tahun). Jika investasi pada sekuritas tersebut untuk jangka panjang, maka investasi tersebut dimasukkan sebagai investasi jangka panjang yang tertera pada pos investasi (investment) pada neraca.
Alasan lain perusahaan memiliki sekuritas ini adalah untuk menjaga likuiditas perusahaan dan memperoleh pendapatan dari investasi tersebut. Sekuritas memiliki sifat yang likuid (mudah diuangkan atau dijual), sehingga apabila perusahaan kekurangan uang kas maka sekuritas ini dapat segera dijual. Dalam hal ini berarti pemilikan sekuritas berfungsi sebagai pengganti saldo kas. Di samping itu, pemilikan sekuritas dimaksudkan untuk memperoleh pendapatan berupa keuntungan. Keuntungan tersebut dapat berupa dividen, bunga atau capital gain. Dividen akan diperoleh oleh perusahaan apabila sekuritas tersebut berupa saham dan dimiliki sampai waktu pembayaran dividen (biasanya dividen dibayarkan sekali dalam setahun). Sedangkan pendapatan bunga akan diperoleh jika perusahaan menginvestasikan dananya dengan membeli sekuritas berupa obligasi atau sertifikat deposito. Sedangkan capital gain akan diperoleh apabila hasil penjualan suatu sekuritas lebih tinggi daripada harga perolehannya.

3.1.9.2 Kriteria Pemilihan Sekuritas

            Kriteria pemilihan sekuritas dapat dilihat dari berbagai macam pertimbangan, yaitu meliputi risiko keuangan (financial risk), risiko suku bunga (interest rate risk), risiko likuiditas (liquidity risk), risiko inflasi dan tingkat keuntungan yang diharapkan. Berbagai pertimbangan tersebut akan menentukan besarnya dana yang akan ditanamkan dalam sekuritas (surat berharga) jangka pendek. Perusahaan akan berusaha memperkecil risiko yang mungkin dihadapi dengan harapan memperoleh keuntungan (return) yang maksimal. Risiko keuangan merupakan risiko tidak kembalinya dana yang diinvestasikan pada sekuritas sesuai dengan yang diinginkan perusahaan. Ketidakpastian pengembalian dana yang telah diinvestasikan (beserta bunganya jika berupa obligasi) pada sekuritas sering sulit diprediksikan. Adakalanya peminjam menunggak dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Jika peminjam tidak dapat mengembalikan dananya, maka perusahaan akan mengalami kesulitan likuiditas, apalagi jika tidak memiliki cadangan kas yang cukup untuk biaya operasi perusahaannya.
Harga sekuritas yang berupa obligasi sangat terpengaruh dengan naik-turunnya suku bunga. Obligasi berjangka pendek relatif lebih stabil dibanding obligasi berjangka panjang dalam hubungannya dengan suku bunga ini. Apabila suku bunga naik, para investor cenderung mengalihkan dananya ke instrumen perbankan, sehingga harga obligasi akan turun. Dan sebaliknya jika suku bunga bank turun, maka investor akan beramai-ramai menginvestasikan dananya pada obligasi sehingga harga obligasi akan meningkat.
Risiko likuiditas sekuritas merupakan cepat lambatnya sekuritas yang bersangkutan dapat diperjual belikan. Sekuritas yang likuid berarti sekuritas tersebut cepat laku terjual. Apabila suatu sekuritas tidak likuid, maka perusahaan atau pihak yang memiliki sekuritas tersebut akan menurunkan harganya agar laku dijual. Penurunan harga ini mengakibatkan keuntungan yang diperoleh akan berkurang atau bahkan akan menderita kerugian jika penurunan harganya sampai melebihi harga perolehannya. Semakin likuid suatu saham, maka makin kecil risiko likuiditasnya karena sekuritas tersebut dapat diperjual belikan setiap saat.
Risiko inflasi pada prinsipnya hampir sama dengan risiko tingkat bunga. Kita tahu bahwa antara tingkat bunga dan inflasi memiliki hubungan yang erat. Tingkat suku bunga yang tinggi mengakibatkan tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi merupakan kecenderungan naiknya harga barang-barang. Tingginya inflasi akan menurunkan daya beli masyarakat. Risiko inflasi ini mengakibatkan pada risiko penurunan daya beli. Pihak yang lebih merasakan dampak dari risiko inflasi ini adalah mereka yang memiliki surat berharga dengan pendapatan tetap seperti obligasi bila dibandingkan dengan surat berharga yang memiliki penghasilan meningkat (seperti saham). Oleh karena itu, saham biasa yang diperjual belikan di bursa efek memiliki stabilitas yang lebih aman dibandingkan obligasi yang memberikan pendapatan tetap. Pada situasi inflasi yang cenderung meningkat, perusahaan akan lebih untung bila melakukan investasi pada saham.
Kriteria terakhir yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan investasi pada sekuritas adalah memperhitungkan hasil yang diharapkan (yield) berupa keuntungan. Besarnya yield atau sering pula disebut return ini akan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain tersebut di atas yaitu adanya risiko keuangan, risiko tingkat bunga, risiko likuiditas, dan risiko inflasi atau risiko daya beli. Risiko-risiko tersebut akan mempengaruhi besarnya hasil yang akan diperoleh baik langsung maupun tidak langung. Risiko keuangan dan risiko likuiditas lebih dapat dikontrol daripada risiko tingkat bunga dan risiko inflasi. Hal ini karena risiko keuangan dan risiko likuiditas lebih banyak berhubungan dengan kemampuan perusahaan dalam mengelola keuangannya. Sedangkan risiko tingkat bunga dan risiko inflasi lebih banyak berhubungan dengan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Hasil yang diharapkan (yield) oleh perusahaan dalam hubungannya dengan risiko-risiko yang mungkin terjadi mengharuskan perusahaan melakukan portofolio atau diversifikasi (penganekaragaman) investasi pada sekuritas. Perusahaan melakukan portofolio investasi berarti bahwa dana yang dimiliki oleh perusahaan ditanamkan pada sekuritas yang bermacam-macam. Perusahaan jangan sampai menanamkan dananya hanya pada satu jenis sekuritas saja, karena apabila sekuritas tersebut harganya “anjlok” maka perusahaan akan mengalami kerugian yang cukup besar. Perusahaan perlu mengikuti pepatah investasi “jangan tempatkan telor-telor yang anda miliki dalam satu keranjang saja” (don't put your eggs in one basket).
 Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan portofolio investasi. Tujuan portofolio ini adalah untuk memperkecil risiko yang mungkin dihadapi. Kita tahu bahwa dalam situasi ekonomi yang normal (stabil) maka antara risiko dan hasil memiliki hubungan yang linier. Semakin tinggi risiko semakin tinggi pula hasil yang diharapkan, dan sebaliknya. Oleh karena itu, dengan portofolio ini perusahaan berusaha untuk melakukan investasi dengan portofolio yang optimal. Portofolio yang optimal adalah portofolio yang menghasilkan risiko terkecil (minimal) dengan hasil tertentu atau memperoleh hasil yang maksimal dengan risiko tertentu.

3.1.10  Kebijakan Modal Kerja

Kebijakan modal kerja dihubungkan dengan jangka waktu pinjaman dan tingkat bunga, makin panjang umur pinjaman makin tinggi tingkat bunganya. Pinjaman jangka panjang untuk modal kerja, pihak yang meminjam harus membayar bunga yang lebih besar daripada pinjaman jangka pendek. Karena masa mendatang adalah penuh ketidakpastian sehingga pihak yang memberi pinjaman memperhitungkan risiko ketidakpastian tersebut. Modal kerja yang dipenuhi dengan pinjaman jangka panjang memiliki tingkat likuiditas tinggi, risiko kegagalan memenuhi kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo kecil. Pada umumnya perusahaan menggunakan pinjaman jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan modal kerjanya, dan perusahaan yang demikian disebut menganut kebijakan modal kerja yang konservatif.
Kebijakan modal kerja yang lainnya adalah bahwa modal kerja harus dihubungkan dengan harta. Harta lancar sebaiknya dibiayai dengan utang lancar, harta tetap sebauiknya dibiayai dengan utang jangka panjang dan modal sendiri. Perusahaan yang mampu melaksanakan kegiatan bisnis dengan kebijakan modal kerja yang demikian melakukan kebijakan modal kerja yang agresif; risikonya besar karena semua kewajiban yang jatuh tempo harus dapat dipenuhi oleh tersedianya harta lancar. Perusahaan yang melakukan kebijakan model ini lebih banyak gagalnya, karena struktur harta lancar itu ada yang sulit dicairkan menjdai uang tunai yaitu persediaan, khususnya persediaan barang setengah jadi atau persediaan barang dalam proses. Perusahaan pada umumnya memiliki tiga jenis kebijakan modal kerja, yaitu:
1)      Kebijakan Konservatif
Merupakan pemenuhan modal kerja yang lebih baik banyak menggunakan sumber dana jangka panjang dibandingkan sumber dana jangka pendek. Modal kerja permanen dan sebagian modal kerja variable dipenuhi oleh sumber dana jangka panjang, dan sebagian modal kerja variable lainnya dipenuhi dengan sumber dana jangka pendek.
2)      Kebijakan Moderat / Hedging
Perusahaan membiayai aktiva dengan dana yang jangka waktunya kurang lebih sama dengan perputaran aktiva tersebut yaitu aktiva yang bersifat permanen dan modal kerja permanen akan didanai dengan sumber dana jangka panjang dan aktiva yang bersifat variebal atau modal kerja variebal akan didanai dengan sumber dana jangka pendek (matching principle).
3)      Kebijakan Agresif
Sebagian kebutuhan dana jangka panjang dipenuhi dengan sumber dana jangka pendek. Pada pendekatan ini perusahaan berani menanggung resiko yang cukup besar.

4.1       Kesimpulan

Modal kerja merupakan aspek penting dalam manajemen pembelanjaan perusahaan. Apabila perusahaaan tidak dapat mempertahankan tingkat modal kerja yang memuaskan, maka kemungkinan perusahaan berada dalam keadaan ”insolvent” (tidak mampu membayar kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo) dan bahkan mungkin terpaksa harus dilikuidasi atau bangkrut. Dalam perusahaan atau badan usaha salah satu peranan modal kerja adalah menjamin kontinuitas perusahaan yang menyangkut penggunaan modal, sehingga dapat menentukan modal kerja yang cukup. Perusahaan dihadapkan pada masalah seberapa besar tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan modal kerja yang harus dikelola perusahaan.
            Dalam analisis penggunaan dana tidak terlepas dari laporan keuangan, karena neraca terdiri dari aktiva dan passiva yang mencerminkan hasil keputusan pendanaan. Sedangkan perhitungan laba rugi dapat dilihat dari seberapa efektifnya penggunaan aktiva yang mendukung penjualan dan seberapa efisien laba yang diperoleh dapat digunakan untuk memberikan imbalan kepada para pemilik dana dan sebagai sumber dana untuk investasi. Sehingga dengan menganalisis efisiensi dan efektivitas penggunaan dana akan diketahui bagaimana kebijaksanaan yang ditempuh oleh pimpinan perusahaan dalam mengoperasikan dana yang ada dan dapat diketahui efisiensi dari dana yang dioperasikan.

4.2       Saran

Penulis berharap tulisan ilmiah ini dapat menambah wawasan bagi seluruh Mahasiswa khususnya para pembaca agar tergugah untuk terus dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menciptakan sistem-sistem untuk mempermudah penyelesaian suatu laporan dan dapat menambah pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa. Demi penyempurnaan tulisan ilmiah ini, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmad, K. (1997). Dasar - Dasar Manajemen Modal Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Atmaja, L. S. (2001). Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Andi.
Brealy, M., & Marcus. (2007). Dasar - Dasar Manajemen Keuangan Perusahaan, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Brigham, E. F. (2001). Manajemen Keuangan, Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Horne, J. C. (1997). Prinsip - Prinsip Manajemen Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Husnan, S. (1998). Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Pendek) Buku 2. Yogyakarta: BPFE.
Riyanto, B. (1999). Dasar - Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE.




0 komentar:

Posting Komentar