ARTI DAN RUANG LINGKUP AQIDAH
1.
ARTI AQIDAH
Dalam
ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan
atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu
keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal ini didasarkan kepada Hadits shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khathab radiyallahu
anha yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’.
a) Pengertian
Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti
ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan
atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan
(menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat
dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi): 'akidah adalah iman yang teguh dan pasti,
yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi,
Akidah Islamiyyah adalah
keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan
kewajiban, bertauhid[2]dan
taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh
apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin),
perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta
seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah
yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta
ijma' Salaf as-Shalih.
Jadi kesimpulannya, apa
yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu
benar ataupun salah.
b)
Pengertian
Aqidah Secara Istilah (Terminologi):
Secara terminomologis (ishthilahan),
terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
·
Menurut Hasan- al Banna:
‘Aqa’id
(bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib kebenarannya oleh
hati(mu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikit pun dengan karagu-raguan.
·
Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
“Aqidah adalah sejumlah
kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan
akal, wahyu dan fitrah. (Kebenaran) itu dipatrikan (oleh manusia) di dalam hati
(serta) diyakini kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Yaitu perkara yang
wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga
menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh
keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
2. RUANG LINGKUP AQIDAH ISLAM
Menurut buku yang saya baca sistematika
Hasan Al-Banna maka Ruang Lingkup Aqidah Islam meliputi :
1.
Ilahiyat : yaitu pembahasan tentang segala susuatu yang berhubungan dengan
Tuhan(Allah), seperti wujud Allah, sifat Allah dll.
2.
Nubuwat : yaitu
pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,
termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, keramat dan lain
sebagainya.
3.
Ruhaniyat : yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik
seperti jin, iblis, setan, roh dll.
4. Sam’iyyat :
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sem’i
(dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab
kubur tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.
ISTILAH AQIDAH DALAM ISLAM
Aqidah jika
dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal
Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat
(hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah
lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh
dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’
wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang
menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu
‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut
berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.
·
Penamaan ‘Aqidah
Menurut Ahlus Sunnah:
a. Iman
Aqidah disebut juga dengan
al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan
hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah
hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama
Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab
mereka.
Ada yang menyamakan istilah
iman dengan aqidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, aqidah
hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam
dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan
lisan dan pembuktian dengan amal. Sebenarnya masalahnya tergantung dari definisi
iman. Kalau kita mengikuti definisi iman menurut Jahmiah dan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman
hanyalah at-tashdiq (membenarkan
di dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada
dengan ini pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah ‘itiqad, sedangkan amal
adalah bukti iman, tetapi tidak dinamakan iman. Sebaliknya jika kita mengikuti
definisi iman menurut Ulama Salaf
(termasuk Imam Ahmad, Malik dan Syafi’i) yang mengatakan bahwa iman
adalah:
“Sesuatu yang diyakini di
dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh”.
(Lihat al-‘Aqidah fillah
oleh Sulaiman Al-Asykar, hal. 14), maka iman dan aqidah tentu tidak sama
persis.
Menurut hemat penulis
apabila istilah iman berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah iman yang
mencakup dimensi hati, lisan dan amal, seperti yang dinyatakan oleh Allah SWT
dalam surat Al-Mukminun ayat 1-11. Namun bila istilah iman dirangkaikan dengan
amal shaleh seperti dalam surat Al-‘Ashri ayat 3, maka iman berarti ‘itqad atau
aqidah.
b.
Aqidah (I’tiqaad
dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus
Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul
Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.
c. Tauhid
Aqidah dinamakan
dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan
kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid
merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya.
Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut
ulama Salaf.
d.
As-Sunnah
As-Sunnah artinya
jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan
yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat
Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah
masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.
e.
Ushuluddin
Artinya pokok-pokok agama.
Aqidah, iman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah merupakan
pokok-pokok ajaran agama Islam.
f.
Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama
lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan
hukum-hukum ijtihadi.
g.
Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah
segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin
(masalah-masalah ‘aqidah).
Itulah beberapa
nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok
selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh
Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para
ahli hadits dari kalangan mereka.
·
Penamaan ‘Aqidah
Menurut Firqah (Sekte) Lain:
Ada beberapa
istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama
dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah :
1.
Ilmu Kalam
Kalam artinya berbicara,
atau pembicaraan. Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis
mu-takallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah dan kelompok yang sejalan
dengan mereka. Dinamai dengan Ilmu Kalam
karena banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi antara pemikir
masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang Al-Qur’an apakah Khaliq atau bukan, hadits atau qadim. Tentang taqdir, apakah manusia
punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang yang berdosa besar, kafir atau
tidak, dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi
setelah cara berpikir rasional dan filsafati mempengaruhi para pemikir dan
ulama Islam.
2. Filsafat
Istilah ini
dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama
yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah
khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal
yang ghaib.
3. Tashawwuf
Istilah ini
dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang
sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah,
karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung
igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang
dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.
Penamaan
Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada)
setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain
Islam.
Dr. Shabir
Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa
Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta
Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di
biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia
membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik
terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang
sebelum Islam.”
Syaikh Dr. Ihsan
Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya
at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti
tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta
pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab
Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas
perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu
juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan
hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu
anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat
bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu,
Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan
Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran
Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”
Syaikh
‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut
Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan
tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya
Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang
ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih
mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme,
Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”
4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah
kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh
mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga
merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena
yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan
kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.
5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini
dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan
dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran
manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Banyak orang yang
menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka
anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai
dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai
pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber
dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih
serta Ijma’ Salafush Shalih.
2.
Fikih Akbar
Artinya fikih besar istilah
ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaqquh
fiddin yang diperintahkan Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122,
bukan hanya masalah fikih tentu, dan lebih utama masalah aqidah. Untuk
membedakan dengan fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar,
sehingga menjadi fikih akbar.
ARKANUL IMAN
Disamping sistematika
di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika Arkanul Iman, yaitu:
1) Iman kepada Allah
SWT.
2) Iman kepada malaikat
(termasuk pembahasan tentang makhluk rohani lainnya seperti
jin, iblis dan syaitan).
3) Iman kepada
kitab-kitab Allah.
4) Iman kepada nabi dan
rasul.
5) Iman kepada hari
akhir.
6) Iman kepada taqdir
Allah.
Pokok dari segala
pokok keimanan adalah beriman kepada Allah yang terpusat pada pengakuan
terhadap eksistensi dan kemahaesaan-Nya. Keimanan kepada Allah menduduki
peringkat pertama, dan dari situ akan lahir keimanan kepada rukun iman yang
lainnya. Sepanjang seseorang telah beriman kepada Allah, niscaya ia akan
beriman kepada para malaikat, kitab, suci, para rasul, hari kiamat, serta
ketentuan baik dan buruk. Kesemuanya itu merupakan cabang dari keimanan
kepada Allah SWT ini.
Seorang mukmin harus mengimani satu
Tuhan yaitu Allah SWT, bukan yang lain, sekalipun Tuhannya
itu Esa. Karena penamaan Allah untuk Tuhan Yang Maha Esa, haruslah datang dari
Allah sendiri dan tidak dibenarkan bila ditetapkan oleh manusia sendiri.
Jadi, memberikan nama
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan nama-nama lain selain yang telah ditetapkan
sendiri oleh Allah SWT, tidak dibenarkan bagi orang muslim. Karena Allah-lah
yang Maha Tahu tentang nama yang menunjukkan Dzat-Nya. Dan nama-nama itu
tidaklah diperoleh melainkan dari Allah sendiri dengan perantaraan Al-Qur’an.
Ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah itu Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Mendengar,
Maha Melihat, Maha Perkasa, dan sifat Allah lainnya, secara implisit jelas
menunjukkan bahwa Allah itu eksis (ada). Sebab tidak mungkin Allah menyatakan
diri-Nya sebagai Maha Mendengar dan Maha Melihat kalau Dia tidak ada.
Adapun pembuktian
adanya Allah dengan dalil aqli (rasional) terbagi dalam beberapa dalil. Pertama,
dalil kosmolofis yaitu pembuktian yang paling tua dan sederhana tentang
eksistensi Allah. Intinya adalah bahwa segala sesuatu yang ada (wujud) pasti
ada yang menciptakan, sebab seluruh kejadian dan perwujudan di alam semesta
ini, selamanya bergantung pada perwujudan yang lain. Tidak mungkin sesuatu yang
ada tanpa adanya yang lain, termasuk peristiwa yang muncul di dalamnya.
Lahirnya rangkaian kejadian dan gerakan peristiwa disebabkan adanya penyebab
pertama dan penggerak pertama, yang lebih dikenal dengan istilah Prima Causa
atau Asbabul Asba.
Jika rangkaian
sebab-akibat gerakan tersebut terus diperturutkan, niscaya terjadi daur
(lingkaran yang tidak berujung tidak pangkal) atau tasalsul (rangkaian
gerak yang tidak berawal tidak berakhir). Secara logika, daur atau tasalsul
tidak mungkin bisa diterima akal. Apabila demikian, maka harus dikatakan
bahwa Prima Causa tersebut merupakan penggerak yang tidak digerakkan dan
penyebab yang tidak diawali oleh sebab yang lain. Prima Causa tersebut
tak lain adalah Allah SWT.
Kedua, dalil teleologis.
Inti dari dalil ini adalah bahwa segala perwujudan di alam raya ini tersusun
dalam sistem yang amat teratur, dan setiap benda yang ada di alam semesta ini
memiliki tujuan-tujuan tertentu. Keteraturan sistem alam yang demikian rapi,
tidak bisa tidak, harus ada yang mengatur. Sumber keteraturan itu adalah Allah
SWT.
Ketiga, dalil ontologis. Inti
dalil ini adalah bahwa manusia memiliki konsep tentang sesuatu yang sempurna.
Dan bila manusia berpikir tentang sesuatu yang sempurna, niscaya berpikir pula
tentang adanya sesuatu yang lain yang lebih sempurna. Hal ini akan mengantarkan
pada adanya Dzat Yang Maha Sempurna, yang tiada kesempurnaan selain Dia. Ide
atau konsep tentang Dzat Yang Maha Sempurna itu pasti diciptakan oleh Allah
SWT, pada diri manusia yang tidak sempurna tersebut.
Keempat, dalil moral.
Inti dalil ini adalah bahwa di kalangan umat manusia di dunia berlaku
nilai-nilai moral seperti kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kebahagiaan.
Pengalaman sejarah umat manusia mencatat banyak sekali orang yang membela suatu
prinsip kebenaran dan keadilan yang diyakininya benar meski harus bertentangan
dengan pandangan orang banyak. Padahal untuk memperjuangkannya, mereka harus
berkorban, baik jiwa, raga maupun hartanya. Selain itu perjuangan dan
pengorbanan mereka tak urung mendapat pertentangan, cacian, hinaan bahkan
melanggarnya.
Pasti ada satu Dzat
Yang Maha Tinggi kepada siapa mereka merasa bertanggung jawab, menggantungkan
asa dan mengharap kebahagiaan kelak di akhirat. Dan Dzat Yang Maha Tinggi itu
adalah Allah SWT.
Selanjutnya keimanan terhadap
eksistensi para malaikat, secara naqli didasarkan pada firman
Allah yang berbunyi:
“Rasul telah beriman
kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya”. (Qs. Al-Baraqat, 2: 285).
Karena eksistensi
malaikat merupakan sesuatu yang gaib (tidak kasat mata), keimanan kepada
malaikat mencakup keimanan kepada hal-hal lain yang bersifat ghaib pula.
Keimanan kepada malaikat lebih bercorak dogmatis, artinya kita yakini
berdasarkan firman Allah yang ada di dalam Al Qur’an (dalil naqli), dan sulit
dibuktikan melalui rasio (dalil naqli) atau pembuktian secara empiris. Yang
jelas, Allah SWT menyebutkan para malaikat itu adalah :
1. Hamba-hamba Allah
yang taat kepada segala yang diperintahkan-Nya tanpa membantah sedikitpun.
2. Para malaikat
memiliki tugas yang bermacam-macam: ada yang menurunkan wahyu, mencatat amal
perbuatan umat manusia, mematikan (mencabut) nyawa makhluk Allah, dan
lain-lain.
3. Dalam menunaikan
tugasnya, para malaikat tidak memiliki ambisi pribadi, sangat taat, suci,
bersih, dan dianugerahi kekuatan sedemikian rupa sehingga disamping tidak akan
memiliki keinginan untuk merubah atau menyelewengkan tugas yang dipercayakan
melaksanakan tugasnya.
4. Para malaikat
hanyalah hamba-hamba Allah dan sama sekali bukan putra-putra-Nya yang harus
disembah seperti yang dilakukan oleh penganut sementara agama non-Islam.
Pokok atau rukun iman berikutnya dalam
Islam adalah beriman kepada kitab-kitab Allah. Keimanan terhadap
kitab-kitab Allah, ini sebagaimana halnya dengan keimanan kepada Allah, para
malaikat serta para Rasul. Sebab dengan mempercayai Allah sebagai Tuhan ada
kemestian untuk menaati perintah dan larangan-Nya yang ada dalam kitab suci-Nya.
Beriman kepada kitab suci-Nya
mengharuskan pula beriman kepada para malaikat yang menurunkannya kepada para
rasul. Beriman kepada para malaikat dan kitab, jelas mengharuskan agar percaya
akan adanya para rasul Allah.
Selanjutnya mengimani hari akhirat yang
merupakan sistem kehidupan dimana keadilan hakiki akan ditegakkan. Pelaku kejahatan dan
pelaku kebaikan akan memperoleh imbalan tanpa dirugikan barang sedikit pun.
Terakhir, dengan memahami dan mengimani
takdir dalam bentuknya yang tepat, manusia akan terhindar dari sikap
fatalis (orang yang percaya atau menyerah saja kepada nasib) yang akan
menjerumuskannya pada bencana dan kesengsaraan. Oleh karena itu, setiap muslim
harus beribadah, bertindak, berjuang dan berusaha dengan berpijak pada sunnah
yang telah ditetapkan Allah. Tanpa kerja keras dan berpijak pada sunatullah,
perjuangan tidak mungkin bisa dimenangkan, cita-cita pun tidak mungkin dapat
tercapai.
KEDUDUKAN AQIDAH
DALAM ISLAM
Dalam ajaran Islam,
aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah
adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq,
adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi
adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai,
bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut
akan runtuh dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang
benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu
amal. Allah subahanahu wata`ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ
يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa
mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal
shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah subahanahu wata`ala juga
berfirman,
وَلَقَدْ
أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan sungguh telah
diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau
betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu
benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya
kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan
pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah
salallahu `alaihi wasalam berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota
Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu
yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang
waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan
ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan
keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh
bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan
penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang
lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi
pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau
keimanan dalam ajaran Islam.
DALIL – DALIL TENTANG AQIDAH
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ
مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah
(kepada mereka yang berbuat kemusyirikan kepada Allah) siapakah yang memberi
rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan dan
menguasai) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah.” Maka
katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?”. (QS : Yunus [10] :
31)
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Ketahuilah/ilmuilah bahwasanya Laa Ilaha
Illalah”.(QS : Muhamad [47]:19).
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Kecuali
yang bersaksi terhadap Laa Ilaha Illalah dan mereka mengetahuinya”.(QS :
Zukhruf [47] : 86).
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah
kami mengutus seorang Rosul/utusan sebelummu kecuali kami wahyukan kepadanya
bahwasanyatidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku (Allah) maka bertauhidlah pada
Ku (Allah)”. (QS : Al Anbiya’ [21] : 25).
FUNGSI
DAN PERANAN AQIDAH
Fungsi dan peranan aqidah dalam
kehidupan umat manusia antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Menuntun dan mengemban
dasar ketuhanan yang dimiliki manusia sejak lahir.
Manusia sejak lahir telah memiliki
potensi keberagamaan (fitrah), sehingga sepanjang hidupnya membutuhkan agama
dalam rangka mencari keyakinan terhadap Tuhan. Aqidah Islam berperan memenuhi
kebutuhan fitrah manusia tersebut, menuntun dan mengarahkan manusia pada
keyakinan yang benar tentang Tuhan, tidak menduga-duga atau mengira-ngira
melainkan menunjukkan Tuhan yang sebenarnya.
b. Memberikan ketenangan dan
ketentraman jiwa.
Agama sebagai kebutuhan fitrah akan
senantiasa menuntut dan mendorong manusia untuk terus mencarinya. Aqidah
memberikan jawaban yang pasti sehingga kebutuhan ruhaninya dapat terpenuhi.
c. Memberikan pedoman hidup
yang pasti.
Keyakinan terhadap Tuhan memberikan
arahan dan pedoman yang pasti sebab aqidah menunjukkan kebenaran keyakinan yang
sesungguhnya. Aqidah memberikan pengetahuan asal dan tujuan hidup manusia
sehingga kehidupan manusia akan lebih jelas dan lebih bermakna. Aqidah Islam
sebagai keyakinan akan membentuk perilaku, bahkan mempengaruhi kehidupan
seorang muslim. Abu A’la Al-Maududi menyebutkan pengaruh aqidah tauhid sebagai
berikut:
ü Menjauhkan manusia dari
pandangan yang sempit dan picik.
ü Menambahkan kepercayaan
terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.
ü Membentuk manusia menjadi
jujur dan adil.
ü Menghilangkan sifat murung
dan putus asa dalam menghadapi selain persoalan dan situasi.
ü Membentuk pendirian yang
teguh, kesabaran, ketabahan dan optimism.
ü Menanamkan sifat ksatria,
semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak takut kepada
mati.
ü Menciptakan sikap hidup
damai dan ridha.
ü Membentuk manusia menjadi
patuh, taat dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
d.
Iman
memberikan daya dorong utama untuk bergaul dan berbuat baik sesama manusia tanpa
pamrih.
e.
Dengan
iman seorang muslim akan senantiasa menghadirkan dirinya dalam pengawasan Allah
semata.
f.
Aqidah
sebagai filter, penyaring budaya-budaya non Islami (sekuler).
KESIMPULAN
Aqidah merupakan landasan
berfikir dan berprilaku bagi seorang muslim. Baik atau buruknya prilaku
tergantung kepada iman yang dimilikinya. Kemudian iman yang ada dalam diri
seseorang akan mengalami pasang naik dan pasang surut sesuai dengan kondisi dan
situasi yang dialami oleh seseorang. Oleh karena itu, agar iman tidak mengalami
kemerosotan maka perlu dipelihara dari kemusyrikan seperti syirik keci, syirik
besar , baik syirik secara terang-terangan maupun syirik secara terselubung.
wallohu a’lam...
Terima kasih,
semoga bermanfaat...
0 komentar:
Posting Komentar