Jumat, 11 September 2015

Pendidikan Agama Islam - Aqidah



ARTI DAN RUANG LINGKUP AQIDAH

1.      ARTI AQIDAH

Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khathab radiyallahu anha  yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’.
a)      Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :

Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (
الْعَقْدُ) yang berarti
ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi): 'akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2]dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' Salaf as-Shalih.
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
b)      Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi):
Secara terminomologis (ishthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
·         Menurut Hasan- al Banna:
Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib kebenarannya oleh hati(mu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan karagu-raguan.
·         Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. (Kebenaran) itu dipatrikan (oleh manusia) di dalam hati (serta) diyakini kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
2.      RUANG LINGKUP AQIDAH ISLAM

Menurut buku yang saya baca sistematika Hasan Al-Banna maka Ruang Lingkup Aqidah Islam meliputi :

1.      Ilahiyat : yaitu pembahasan tentang segala susuatu yang berhubungan dengan Tuhan(Allah), seperti wujud Allah, sifat Allah dll.
2.      Nubuwat : yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, keramat dan lain sebagainya.
3.      Ruhaniyat : yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti jin, iblis, setan, roh dll.
4.      Sam’iyyat : yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sem’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.


ISTILAH AQIDAH DALAM ISLAM
Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.
·         Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah:
a.        Iman
Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.
Ada yang menyamakan istilah iman dengan aqidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, aqidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luar berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sebenarnya masalahnya tergantung dari definisi iman. Kalau kita mengikuti definisi iman menurut Jahmiah dan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iman hanyalah at-tashdiq (membenarkan di dalam hati) maka iman dan aqidah adalah dua istilah yang bersinonim. Senada dengan ini pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa iman hanyalah ‘itiqad, sedangkan amal adalah bukti iman, tetapi tidak dinamakan iman. Sebaliknya jika kita mengikuti definisi iman menurut Ulama Salaf (termasuk Imam Ahmad, Malik dan Syafi’i) yang mengatakan bahwa iman adalah:
“Sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh”.
(Lihat al-‘Aqidah fillah oleh Sulaiman Al-Asykar, hal. 14), maka iman dan aqidah tentu tidak sama persis.
Menurut hemat penulis apabila istilah iman berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah iman yang mencakup dimensi hati, lisan dan amal, seperti yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat Al-Mukminun ayat 1-11. Namun bila istilah iman dirangkaikan dengan amal shaleh seperti dalam surat Al-‘Ashri ayat 3, maka iman berarti ‘itqad atau aqidah.
b.      Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.
c.       Tauhid
Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.
d.     As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.
e.            Ushuluddin
Artinya pokok-pokok agama. Aqidah, iman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran aqidah merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.
f.       Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.
g.      Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).
Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.
·         Penamaan ‘Aqidah Menurut Firqah (Sekte) Lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah :
1.       Ilmu Kalam
Kalam artinya berbicara, atau pembicaraan. Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah dan kelompok yang sejalan dengan mereka.  Dinamai dengan Ilmu Kalam karena banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi antara pemikir masalah-masalah aqidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang Al-Qur’an apakah Khaliq atau bukan, hadits atau qadim. Tentang taqdir, apakah manusia punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang yang berdosa besar, kafir atau tidak, dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi setelah cara berpikir rasional dan filsafati mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam.
2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.
Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.
Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”
Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”
Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”
4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.
5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.
2.      Fikih Akbar
Artinya fikih besar istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaqquh fiddin yang diperintahkan Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122, bukan hanya masalah fikih tentu, dan lebih utama masalah aqidah. Untuk membedakan dengan fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar, sehingga menjadi fikih akbar.


ARKANUL IMAN
Disamping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika Arkanul Iman, yaitu:
1)      Iman kepada Allah SWT.
2)      Iman kepada malaikat (termasuk pembahasan tentang makhluk rohani lainnya seperti jin, iblis dan syaitan).
3)      Iman kepada kitab-kitab Allah.
4)      Iman kepada nabi dan rasul.
5)      Iman kepada hari akhir.
6)      Iman kepada taqdir Allah.
Pokok dari segala pokok keimanan adalah beriman kepada Allah yang terpusat pada pengakuan terhadap eksistensi dan kemahaesaan-Nya. Keimanan kepada Allah menduduki peringkat pertama, dan dari situ akan lahir keimanan kepada rukun iman yang lainnya. Sepanjang seseorang telah beriman kepada Allah, niscaya ia akan beriman kepada para malaikat, kitab, suci, para rasul, hari kiamat, serta ketentuan baik dan buruk. Kesemuanya itu  merupakan cabang dari keimanan kepada Allah SWT ini.
Seorang mukmin harus mengimani satu Tuhan yaitu Allah SWT, bukan yang lain, sekalipun Tuhannya itu Esa. Karena penamaan Allah untuk Tuhan Yang Maha Esa, haruslah datang dari Allah sendiri dan tidak dibenarkan bila ditetapkan oleh manusia sendiri.
Jadi, memberikan nama kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan nama-nama lain selain yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah SWT, tidak dibenarkan bagi orang muslim. Karena Allah-lah yang Maha Tahu tentang nama yang menunjukkan Dzat-Nya. Dan nama-nama itu tidaklah diperoleh melainkan dari Allah sendiri dengan perantaraan Al-Qur’an. Ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah itu Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Perkasa, dan sifat Allah lainnya, secara implisit jelas menunjukkan bahwa Allah itu eksis (ada). Sebab tidak mungkin Allah menyatakan diri-Nya sebagai Maha Mendengar dan Maha Melihat kalau Dia tidak ada.
Adapun pembuktian adanya Allah dengan dalil aqli (rasional) terbagi dalam beberapa dalil. Pertama, dalil kosmolofis yaitu pembuktian yang paling tua dan sederhana tentang eksistensi Allah. Intinya adalah bahwa segala sesuatu yang ada (wujud) pasti ada yang menciptakan, sebab seluruh kejadian dan perwujudan di alam semesta ini, selamanya bergantung pada perwujudan yang lain. Tidak mungkin sesuatu yang ada tanpa adanya yang lain, termasuk peristiwa yang muncul di dalamnya. Lahirnya rangkaian kejadian dan gerakan peristiwa disebabkan adanya penyebab pertama dan penggerak pertama, yang lebih dikenal dengan istilah Prima Causa atau Asbabul Asba.
Jika rangkaian sebab-akibat gerakan tersebut terus diperturutkan, niscaya terjadi daur (lingkaran yang tidak berujung tidak pangkal) atau tasalsul (rangkaian gerak yang tidak berawal tidak berakhir). Secara logika, daur atau tasalsul tidak mungkin bisa diterima akal. Apabila demikian, maka harus dikatakan bahwa Prima Causa tersebut merupakan penggerak yang tidak digerakkan dan penyebab yang tidak diawali oleh sebab yang lain. Prima Causa tersebut tak lain adalah Allah SWT.
Kedua, dalil teleologis. Inti dari dalil ini adalah bahwa segala perwujudan di alam raya ini tersusun dalam sistem yang amat teratur, dan setiap benda yang ada di alam semesta ini memiliki tujuan-tujuan tertentu. Keteraturan sistem alam yang demikian rapi, tidak bisa tidak, harus ada yang mengatur. Sumber keteraturan itu adalah Allah SWT.
Ketiga, dalil ontologis. Inti dalil ini adalah bahwa manusia memiliki konsep tentang sesuatu yang sempurna. Dan bila manusia berpikir tentang sesuatu yang sempurna, niscaya berpikir pula tentang adanya sesuatu yang lain yang lebih sempurna. Hal ini akan mengantarkan pada adanya Dzat Yang Maha Sempurna, yang tiada kesempurnaan selain Dia. Ide atau konsep tentang Dzat Yang Maha Sempurna itu pasti diciptakan oleh Allah SWT, pada diri manusia yang tidak sempurna tersebut.
Keempat, dalil moral. Inti dalil ini adalah bahwa di kalangan umat manusia di dunia berlaku nilai-nilai moral seperti kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kebahagiaan. Pengalaman sejarah umat manusia mencatat banyak sekali orang yang membela suatu prinsip kebenaran dan keadilan yang diyakininya benar meski harus bertentangan dengan pandangan orang banyak. Padahal untuk memperjuangkannya, mereka harus berkorban, baik jiwa, raga maupun hartanya. Selain itu perjuangan dan pengorbanan mereka tak urung mendapat pertentangan, cacian, hinaan bahkan melanggarnya.
Pasti ada satu Dzat Yang Maha Tinggi kepada siapa mereka merasa bertanggung jawab, menggantungkan asa dan mengharap kebahagiaan kelak di akhirat. Dan Dzat Yang Maha Tinggi itu adalah Allah SWT.
Selanjutnya keimanan terhadap eksistensi para malaikat, secara naqli didasarkan pada firman Allah yang berbunyi:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya”. (Qs. Al-Baraqat, 2: 285).
Karena eksistensi malaikat merupakan sesuatu yang gaib (tidak kasat mata), keimanan kepada malaikat mencakup keimanan kepada hal-hal lain yang bersifat ghaib pula. Keimanan kepada malaikat lebih bercorak dogmatis, artinya kita yakini berdasarkan firman Allah yang ada di dalam Al Qur’an (dalil naqli), dan sulit dibuktikan melalui rasio (dalil naqli) atau pembuktian secara empiris. Yang jelas, Allah SWT menyebutkan para malaikat itu adalah :
1.      Hamba-hamba Allah yang taat kepada segala yang diperintahkan-Nya tanpa membantah sedikitpun.
2.      Para malaikat memiliki tugas yang bermacam-macam: ada yang menurunkan wahyu, mencatat amal perbuatan umat manusia, mematikan (mencabut) nyawa makhluk Allah, dan lain-lain.
3.      Dalam menunaikan tugasnya, para malaikat tidak memiliki ambisi pribadi, sangat taat, suci, bersih, dan dianugerahi kekuatan sedemikian rupa sehingga disamping tidak akan memiliki keinginan untuk merubah atau menyelewengkan tugas yang dipercayakan melaksanakan tugasnya.
4.      Para malaikat hanyalah hamba-hamba Allah dan sama sekali bukan putra-putra-Nya yang harus disembah seperti yang dilakukan oleh penganut sementara agama non-Islam.
Pokok atau rukun iman berikutnya dalam Islam adalah beriman kepada kitab-kitab Allah. Keimanan terhadap kitab-kitab Allah, ini sebagaimana halnya dengan keimanan kepada Allah, para malaikat serta para Rasul. Sebab dengan mempercayai Allah sebagai Tuhan ada kemestian untuk menaati perintah dan larangan-Nya yang ada dalam kitab suci-Nya. Beriman kepada kitab suci-Nya mengharuskan pula beriman kepada para malaikat yang menurunkannya kepada para rasul. Beriman kepada para malaikat dan kitab, jelas mengharuskan agar percaya akan adanya para rasul Allah.
Selanjutnya mengimani hari akhirat yang merupakan sistem kehidupan dimana keadilan hakiki akan ditegakkan. Pelaku kejahatan dan pelaku kebaikan akan memperoleh imbalan tanpa dirugikan barang sedikit pun.
Terakhir, dengan memahami dan mengimani takdir dalam bentuknya yang tepat, manusia akan terhindar dari sikap fatalis (orang yang percaya atau menyerah saja kepada nasib) yang akan menjerumuskannya pada bencana dan kesengsaraan. Oleh karena itu, setiap muslim harus beribadah, bertindak, berjuang dan berusaha dengan berpijak pada sunnah yang telah ditetapkan Allah. Tanpa kerja keras dan berpijak pada sunatullah, perjuangan tidak mungkin bisa dimenangkan, cita-cita pun tidak mungkin dapat tercapai.

KEDUDUKAN AQIDAH DALAM ISLAM
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah subahanahu wata`ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah subahanahu wata`ala juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah salallahu `alaihi wasalam berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.

DALIL – DALIL TENTANG AQIDAH

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ 

مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah (kepada mereka yang berbuat kemusyirikan kepada Allah) siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan dan menguasai) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah.” Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?”. (QS : Yunus [10] : 31)

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Ketahuilah/ilmuilah bahwasanya Laa Ilaha Illalah”.(QS : Muhamad [47]:19).

إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Kecuali yang bersaksi terhadap Laa Ilaha Illalah dan mereka mengetahuinya”.(QS : Zukhruf [47] : 86).

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Tidaklah kami mengutus seorang Rosul/utusan sebelummu kecuali kami wahyukan kepadanya bahwasanyatidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku (Allah) maka bertauhidlah pada Ku (Allah)”. (QS : Al Anbiya’ [21] : 25).

FUNGSI DAN PERANAN AQIDAH
Fungsi dan peranan aqidah dalam kehidupan umat manusia antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.      Menuntun dan mengemban dasar ketuhanan yang dimiliki manusia sejak lahir.
Manusia sejak lahir telah memiliki potensi keberagamaan (fitrah), sehingga sepanjang hidupnya membutuhkan agama dalam rangka mencari keyakinan terhadap Tuhan. Aqidah Islam berperan memenuhi kebutuhan fitrah manusia tersebut, menuntun dan mengarahkan manusia pada keyakinan yang benar tentang Tuhan, tidak menduga-duga atau mengira-ngira melainkan menunjukkan Tuhan yang sebenarnya.
b.      Memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa.
Agama sebagai kebutuhan fitrah akan senantiasa menuntut dan mendorong manusia untuk terus mencarinya. Aqidah memberikan jawaban yang pasti sehingga kebutuhan ruhaninya dapat terpenuhi.
c.      Memberikan pedoman hidup yang pasti.
Keyakinan terhadap Tuhan memberikan arahan dan pedoman yang pasti sebab aqidah menunjukkan kebenaran keyakinan yang sesungguhnya. Aqidah memberikan pengetahuan asal dan tujuan hidup manusia sehingga kehidupan manusia akan lebih jelas dan lebih bermakna. Aqidah Islam sebagai keyakinan akan membentuk perilaku, bahkan mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu A’la Al-Maududi menyebutkan pengaruh aqidah tauhid sebagai berikut:
ü  Menjauhkan manusia dari pandangan yang sempit dan picik.
ü  Menambahkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri.
ü  Membentuk manusia menjadi jujur dan adil.
ü  Menghilangkan sifat murung dan putus asa dalam menghadapi selain persoalan   dan situasi.
ü  Membentuk pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan dan optimism.
ü  Menanamkan sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak takut kepada mati.
ü  Menciptakan sikap hidup damai dan ridha.
ü  Membentuk manusia menjadi patuh, taat dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
d.     Iman memberikan daya dorong utama untuk bergaul dan berbuat baik sesama manusia tanpa pamrih.
e.      Dengan iman seorang muslim akan senantiasa menghadirkan dirinya dalam pengawasan Allah semata.
f.       Aqidah sebagai filter, penyaring budaya-budaya non Islami (sekuler).
KESIMPULAN
Aqidah merupakan landasan berfikir dan berprilaku bagi seorang muslim. Baik atau buruknya prilaku tergantung kepada iman yang dimilikinya. Kemudian iman yang ada dalam diri seseorang akan mengalami pasang naik dan pasang surut sesuai dengan kondisi dan situasi yang dialami oleh seseorang. Oleh karena itu, agar iman tidak mengalami kemerosotan maka perlu dipelihara dari kemusyrikan seperti syirik keci, syirik besar , baik syirik secara terang-terangan maupun syirik secara terselubung.
wallohu a’lam...


Terima kasih, semoga bermanfaat...

0 komentar:

Posting Komentar